Monday, April 13, 2020

Eddy Kristianto Menggali Potensi Ekonomi Pedesaan

---Sebagai dokter, Eddy Kristianto tidak hanya mengabdikan diri pada bidang kesehatan. Dia pergi ke desa-desa untuk menggali potensi ekonomi masyarakat desa, sehingga bisa meningkatkan pendapatan sehari-hari.

Eddy Kristianto tak sekedar menjadi dokter yang mengabdi di bidang kesehatan. Dia keliling ke desa-desa untuk mencari potensi ekonomi masyarakat setempat.

Bekerja sebagai seorang dokter, tidak hanya membuat Eddy Kristianto (56) mengabdikan diri pada bidang kesehatan. Lebih luas lagi, dia memberdayakan masyarakat pedesaan. Didukung istrinya, drg Renny Limarga, ia biasa blusukan ke desa-desa untuk menggali potensi ekonomi yang masih tersembunyi.

Setelah lulus sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta pada 1993, Eddy bekerja di Puskesmas Rawak, Sekandu Hulu, Kalimantan Barat. Jaraknya sekitar 250 kilometer dari ibu kota Pontianak. Ketika mengabdi di sana, ia prihatin melihat keadaan ekonomi warga. Tergerak untuk membantu warga, ia memutuskan memperpanjang kontrak dari satu tahun menjadi empat tahun. Di samping memberikan layanan kesehatan, ia membentuk kelompok-kelompok warga untuk diberi aneka pelatihan.


Tujuannya agar mereka bisa mengembangkan potensi yang ada di Sekandu Hulu dan meningkatkan penghasilan keluarga.

“Waktu itu pelatihan dan organisasinya belum terstruktur rapi. Pelatihan baru terstruktur tahun 2000. Tapi itu adalah cikal bakal KTB UKM yang ada sekarang ini,” kata Eddy yang dihubungi secara daring di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Kamis (2/4/2020).

Yang ia maksud KTB UKM adalah Kelompok Tumbuh Berkembang Usaha Kecil Menengah. Selama 27 tahun sejak diinisiasi oleh Eddy, kini ada 1.200 KTB UKM di semua provinsi dengan pegiat 800-an orang. Banyaknya KTB UKM yang mesti ia bina, membuat Eddy menjalani dua aktvitas sekaligus: sebagai dokter dan sebagai pemberdaya.

Sudah biasa ia blusukan ke desa-desa terpencil untuk survei dan “mendiagnosa” potensi ekonomi yang tidak terpikirkan oleh warga setempat. Lalu mencari beberapa orang pelopor yang mau ikut serta dalam berbagai pelatihan untuk mengembangkan potensi desa.

“Misalnya, di Desa Cikalong Kulon, Kabupaten Bogor, warga menanam gambas atau oyong, lalu dijual ke pasar seharga Rp 400 per kilogram. Suatu saat, panen oyong melimpah dan harganya jatuh. Ketika itu, saya minta mereka mendiamkan saja oyongnya lalu memetik oyong kering yang bergantung di pohon,” Eddy mengisahkan. Oyong kering berwarna kecoklatan itu tinggal dibersihkan lalu dijadikan loofah, untuk menggosok badan. Harganya, naik menjadi Rp 15.000 per kilogram.

ARSIP PRIBADI--Salah satu produksi loofah yang dihasilkan usaha kecil menengah di Desa Cikalong Kulon, Kabupaten Bogor yang dikelola Eddy.

Mencari potensi
Menurut Eddy, terkadang warga bisa memproduksi barang, tetapi kesulitan ketika menjual. Kalau bisa menjual, mereka sering tak mampu memproduksi barang dalam jumlah banyak sesuai permintaan. Untuk membantu mereka, Eddy merancang tim pendukung untuk KTM UKM. Ada empat divisi yang pendukung yaitu pembinaan, perizinan, pemasaran dan investasi.

“Saya merancang tim pendukung untuk pembinaan terjun ke desa-desa, tim perizinan mengurus seperti izin dari Badan POM untuk makanan. Tugas tim pemasaran memikirkan pemasaran dan branding produk,” kata Eddy.

Sementara itu, tim investasi memikirkan peningkatan kapasitas produksi. “Tidak semua orang bisa turun ke desa, ada juga yang ingin membantu, nah mereka itu dapat bekerja pada tim investasi. Misalnya, untuk pengadaan mesin ketika pesanan sudah banyak dan tidak mungkin produksi dilakukan secara manual,” jelas Eddy.

Hambatan terbesar, lanjut Eddy, biasanya dari diri sendiri. “Kadang kita berpikir, mengerjakan hal seperti ini wasting money, wasting time. Jadi membuat malas. Ini adalah hambatan terbesar,” kata Eddy.

ARSIP PRIBADI--Eddy berbaju batik ungu ketika memberikan materi kepada kelompok yang didampinginya.

Untuk membiayai pembentukan KTM UKM di berbagai daerah ini, Eddy tidak memiliki yayasan atau donatur, hanya mengandalkan penghasilannya dan peluang kerja sama dengan berbagai pihak.

Hambatan lainnya adalah karakter dari orang yang akan dibimbing. “Kalau saya hanya mengajarkan membuat produk lalu menjualnya, gampang, gampang sekali. Pelatihan satu dua hari pun selesai. Hanya saja, saya menekankan perubahan karakter juga, ini yang memerlukan waktu panjang,” papar Eddy.

Pendidikan karakter yang diperlukan antara lain adalah mengubah sikap dari warga desa agar mau berkembang bersama juga mau berbagi. Total pendampingan kepada kelompok sekitar 2 tahun.

Eddy merendah ketika ditanya bagaimana dia dapat menemukan dengan cepat menemukan potensi yang ada di desa-desa yang selama ini belum tergali. “Saya juga penasaran. Ini berkat dari Tuhan, ketika hati kita mau memberi, Tuhan kasih ide. Saya juga banyak membaca, riset. Ide-ide itu dari Atas, kita tinggal mengerjakan saja,” kata Eddy. Eddy memiliki laboratorium di rumahnya, sehingga produk-produk unggulan dapat diteliti dan diuji coba sebelum dijual.

Ketika Eddy menemukan beberapa potensi yang dapat dikembangkan di sebuah desa, akan dilakukan dengan sarasehan yaitu pertemuan untuk menjelaskan tentang potensi-potensi tersebut. Dari sarasehan dibentuk kelompok usaha.

“Saya menekankan bahwa kegiatan ini bukanlah pemberian, melainkan usaha bersama,” tegas Eddy. Biasanya, dari sekitar 30 orang yang hadir dalam sarasehan, hanya sekitar 15 orang yang sungguh-sungguh mengikuti pelatihan dan pendampingan. Jumlah ini biasanya menyusut sampai 5-10 orang hingga tahap terakhir.

“Tetapi dari yang 5 orang ini, sudah dapat mengajarkan ke desa-desa di sekitarnya. Salah satu keunggulan KTB UKM ini adalah mudah diduplikasi sehingga dapat menjangkau banyak desa,” kata Eddy.

DOKUMENTASI DR EDDY--Eddy berbaju biru di sebelah kanan, ketika memberikan pelatihan salah satu kelompok usaha kecil menengah.

Berbisnis, walaupun kecil, selalu memunculkan potensi keributan dalam membagikan hasil. Sejak awal, Eddy sudah memberikan porsi bagi hasil dari usaha-usaha ini. Sebesar 10 persen dari keuntungan diambil oleh tim pembina, untuk modal mengembangkan di desa lain. Tim pengembangan di desa yang telah menyediakan waktu dan tenaga juga mendapatkan 10 persen. Sebanyak 10 persen lagi ditabung untuk membeli aset seperti kompor dan pengembangan usaha. Sisanya, dibagikan pada kelompok.

Dukungan dari keluarga sungguh besar untuk Eddy untuk mengembangkan KTB UKM ini. “Dulu saya berdoa, supaya dapat jodoh seseorang yang mau juga diajak berbagi, mau ikut melayani,” kata dia seraya tergelak.

“Iya, saya sudah biasa ditinggal pergi,” sambung istrinya Renny yang ikut mendampingi Eddy.

Kedua dokter itu berpraktik di sebuah klinik di Cikarang. Jika ingin konsultasi dengan Eddy, harus melalui perjanjian. “Dengan demikian, jadwal saya ke desa-desa tidak terganggu. Dalam satu bulan, setidaknya saya pergi satu minggu sampai 10 hari,” jelas Eddy.

Walaupun sudah menghasilkan 1.200 kelompok, Eddy masih memiliki obsesi. “Saya mau, jumlah kelompok yang saya bina sendiri sama dengan jumlah umur saya. Saat ini masih kurang 6,” ujar dia sembari tersenyum.

Selain itu, Eddy juga berharap dapat menjadi jembatan bagi orang yang mau berbagi. Tidak melulu soal uang, tetapi mereka yang bersedia membagikan waktu dan tenaga, pengetahuan, atau berbagi jaringan pemasaran bagi produk-produk unggulan dari desa.

Eddy Kristianto

Lahir: Magelang, 18 November 1963

Istri: Renny Limarga

Anak: Christopher. Jennifer

Pendidikan: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta, angkatan th.1983.

Pekerjaan:
– 1993-1996: dokter di Puskesmas Rawak, Sekadau Hulu, Kalimantan Barat
– 1993-sekarang: Membina Kelompok Tumbuh Bersama Usaha Kecil Menengah (KTB UKM)
– 1997-sekarang: dokter di klinik milik sendiri di Lippo Cikarang

Oleh  JOICE TAURIS SANTI

Editor:   MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 14 April 2020

No comments:

Post a Comment