Wednesday, October 14, 2020

Sururi, Penjaga Benteng Alam Pesisir Semarang

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA---Sururi (62), pelestari mangrove, di tempat pembibitan mangrove yang dikelolanya, di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/9/2020).

Akhir 1990-an, pembukaan tambak besar-besaran turut memicu abrasi di pesisir utara Kota Semarang. Enggan berpangku tangan, Sururi (62) berjuang membentengi pesisir dengan mangrove.

Akhir 1990-an, pembukaan tambak besar-besaran turut memicu abrasi di pesisir utara Kota Semarang. Namun, saat lahan-lahan tambak kian tenggelam akibat air pasang, para pengusahanya pergi, meninggalkan alam yang rusak. Enggan berpangku tangan, Sururi (62) berjuang membentengi pesisir dengan mangrove.

Mulanya, pesisir barat Kota Semarang, tepatnya di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, masih lebat ditumbuhi mangrove. Namun, seiring maraknya ekstensifikasi tambak untuk budidaya udang windu, mangrove pun digunduli untuk  pembukaan tambak. Masyarakat tergiur keuntungan tanpa memikirkan masa depan lingkungan.

Dampak itu kemudian dirasakan Sururi yang juga kehilangan tambak garapannya karena  abrasi. Kondisi itu membuatnya memilih bekerja sebagai TKI di Malaysia selama satu tahun, sebelum kemudian kembali ke Indonesia karena tidak betah.

Pada 1997,  kegamangan Sururi makin menjadi. Saat itu, abrasi sudah menyebabkan ratusan meter daratan lenyap.  Jarak dari rumah Sururi ke laut, dari sebelumnya 1,5 kilometer tinggal 600 meter.

”Saat itu saya berpikir, kalau tak segera melakukan sesuatu, apakah keluarga saya bisa  diselamatkan? Kalau rumah saya tenggelam, saya harus ke mana?” kenang Sururi saat ditemui di rumahnya, Jumat (25/9/2020).

Kekhawatiran Sururi bukan sesuatu yang mengada-ngada. Pasalnya, abrasi yang  menenggelamkan tambak dan pemukiman saat itu sudah terjadi di sejumlah titik di Kecamatan Sayung,  Kabupaten Demak. Sururi tak mau hal serupa terjadi di Mangunharjo.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Batu dan tiang bambu dipasang untuk memecah gelombang agar tidak memperparah abrasi yang kian menggerus sekitar Mangunharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah (3/12/2012). Abrasi di pesisir pantai ini mulai mengancam tambak milik warga.

Jalan yang dipilih Sururi untuk menyelamatkan kawasan pesisir ini sempat diejek rekan-rekannya sesama petambak, yang memilih  menjadi nelayan, pengojek, buruh bangunan, dan buruh pabrik, setelah tambak hilang.

Secara perlahan, sejak 1997, Sururi mulai menanam mangrove. Hingga kemudian ia bertemu  pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip), Sudharto P Hadi. Sejak saat itu,  Sururi dibimbing dalam menanam mangrove.

Pada 2000, Sururi mulai melakukan pembibitan. ”Meski kurang dana, kami bismillah saja. Saat  itu, saya juga mencari kepiting pada malam hari untuk kehidupan keluarga,” ujarnya.

Pembibitan, yang ia lakukan di lahan sewaan, baru lancar pada 2004. Sebelumnya, ia  harus mengambil bibit dari Brebes hingga Rembang. Ia menanam mangrove di belakang sabuk  pantai yang dibuat pemerintah. Mangrove yang ia tanam kian lebat pada 2006.

Lewat kelompok Subur Makmur yang ia dirikan bersama rekan-rekannya, upaya konservasi  baru benar-benar optimal pada 2007. Hal tersebut tak terlepas dari dukungan sejumlah perusahaan  swasta yang menanam mangrove melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mereka.

Sururi tak memungkiri, usaha pembibitannya bergantung pada CSR perusahaan yang membeli  bibit untuk ditanam. Sejak 2007, selain ada perusahaan yang menjadi mitra, semakin banyak  perusahaan, mahasiswa, dan peneliti, termasuk dari luar negeri, datang ke Mangunharjo.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Warga menanam bibit mangrove untuk mengurangi dampak abrasi di Pantai Mangunharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/10). Upaya rehabilitasi dilakukan dengan membuat sabuk pantai dan penanaman mangrove.

Usaha pembibitan mangrove itu pun menghidupi Sururi dan rekan-rekannya. ”Dengan mereka datang, bibit saya ada yang  beli. Penghasilan saya dari sana. Sebelum pandemi Covid-19, saya membuat 75.000-100.000  bibit dalam setahun karena harus melayani permintaan perusahaan-perusahaan yang  menanam,” ujarnya.

Saat ini, Sururi menyediakan bibit mangrove jenis Rhizophora dan Bruguiera.  Sebelumnya, tersedia juga Avicennia, tetapi minim pesanan sehingga tak lagi dibuat bibit.

Harga bibit yang ia jual Rp 1.200 per batang untuk mahasiswa atau umum dan Rp  1.500 untuk perusahaan. Setiap perusahaan paling sedikit membeli 2.000 bibit untuk  kemudian ditanam.

Pada 2015, Sururi membentuk  Kelompok Mangrove Lestari, yang sebagian besar anggotanya keluarga sendiri. Kini, total ada  11 orang dalam kelompoknya membuat bibit maupun menanam mangrove.

Benteng terbentuk

Ikhtiar yang dilakukan Sururi sejak 1997 dan semakin berkembang sejak 2007, membuahkan  hasil. Hingga kini, dari jutaan bibit yang ditanam, benteng alami mangrove kembali terbentuk  dengan luas sekitar 70 hektar. Ketinggiannya tanamannya beragam, bahkan ada yang mencapai 6 meter.

”Alhamdulillah, jarak rumah saya ke pantai, dari sebelumnya hanya 600 meter, sekarang sudah  1 km. Sabuk pantai yang sebelumnya dibuat pemerintah sudah rusak, tetapi kini mangrove-nya  sudah kuat,” kata Sururi.

Mangrove yang menebal itu kini bisa menahan  laju abrasi di paling sedikit tiga kelurahan, yakni Mangkang Kulon, Mangunharjo, dan Mangkang Wetan. Manfaat lainnya, sejumlah nelayan kini tak perlu terlalu jauh mencari tangkapan. Di sekitar  hutan mangrove, mereka kini bisa mencari ikan, udang, dan kepiting. Bahkan, sejak 2016, sejumlah  warga Mangunharjo melakukan budi daya kerang hijau.

Dalam perjalanannya, seiring banyaknya pesanan mangrove, Sururi sering menjadi  rujukan pembibitan mangrove di Semarang. Tak heran, di ruang tamu rumahnya yang sederhana, berderet puluhan plakat dan piagam  penghargaan dari berbagai instansi. Sebagian piagam penghargaan itu dibingkai khusus, seperti  Penghargaan Wali Kota Semarang 2008 dan Undip Award 2009.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA---Sururi (62), pelestari mangrove, di tempat pembibitan mangrove yang dikelolanya, di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/9/2020).

Sururi menambahkan, meski sudah dikenal banyak perusahaan dan instansi, ia tak mau memanfaatkannya untuk mencari keuntungan di luar koridor usahanya. Penghasilan yang didapat sepenuhnya dari pembibitan. Apresiasi dan penghargaan datang dengan sendirinya.

Penghargaan yang paling berkesan ialah berangkat umrah dengan istrinya pada 2017. ”Ada  dosen yang sedang syukuran lalu membiayai umrah, untuk satu orang. Kurang dari setengah  bulan kemudian, ada perusahaan yang melakukan hal sama. Jadi, kami bisa berangkat berdua,” katanya.

Berbagai bentuk pengakuan dan penghargaan itu  tak membuat komitmen utama Sururi luntur. ”Bagi saya, semakin banyak menanam,  maka semakin bisa menghambat abrasi. Itu saja,” ujar Sururi.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA---Sururi (62), pelestari mangrove, di tempat pembibitan mangrove yang dikelolanya, di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/9/2020).

Menengok ke belakang, keahlian terkait mangrove serta pembibitannya ini didapat Sururi dari belajar sendiri di alam serta sudah dua kali mengikuti pelatihan. Dari pelatihan itu, jadi tahu beragam spesies mangrove serta berbagai macam perlakuan, tergantung pada jenisnya.

Walau demikian, ia mengakui, apa yang dilakukannya selama ini tak lepas dari bimbingan Soedharto P Hadi, yang menjabat Rektor Undip 2010-2014. Sejak awal hingga kini, Sururi kerap  mendiskusikan hal-hal terkait pembibitan dan penanaman mangrove dengan Soedharto.

Soedharto juga yang mendorong Sururi untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya. Alhasil,  dari penghasilan menjual bibit bertahun-tahun, Sururi telah menyekolahkan empat dari enam  anaknya hingga bergelar sarjana, bahkan ada yang lanjut ke magister. Sementara dua anak lagi saat ini masih mengenyam kuliah S1.

Tantangan

Mengembangkan bibit sekaligus menanam mangrove bukannya tanpa hambatan.  Meski kini sudah banyak pihak yang menanam mangrove, tanaman itu tetap tak bisa dilepas  begitu saja.

”Persentase kehidupan mangrove itu 50 persen. Kalau dengan sulaman, artinya dirawat, bisa  menjadi 60 persen. Maka, perawatan ini menjadi tantangan, karena membutuhkan ketekunan  dan tenaga juga,” ujar Sururi.

Selain itu, selama pandemi Covid-19, permintaan bibit dan menanam juga menurun, terutama  dari mahasiswa dan peneliti dari luar negeri, seperti China, Hong Kong, dan Korea Selatan. Sururi  pun berharap segalanya bisa kembali normal.

Ke depan, Sururi berharap mangrove di Mangunharjo lebih berkembang. Apalagi, ekosistem  sebenarnya sudah terbentuk. Saat ini, sejumlah warga, terutama ibu-ibu, juga  mengembangkan batik mangrove dan makanan olahan dari udang.

”Bagi saya, ekonomi harus terangkat. Minimal, di sini mesti ada ekowisata sehingga bisa terus  berkembang. Tentu, perlu dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan itu,” tuturnya.

Sururi

Lahir: 17 Juli 1958

Istri: Nurchayati

Anak: 6

Pendidikan: Madrasah Ibtidaiyah Mangunharjo, lulus 1971

Organisasi:

- Kelompok Tani Subur Makmur (2004-sekarang)

- Kelompok Mangrove Lestari (2015-sekarang)

Penghargaan:

- Penghargaan Wali Kota Semarang 2008 sebagai Pelestari Penghijauan Mangrove

- Undip Award 2009 kategori Pelestarian Lingkungan Hidup Wilayah Pantai

- Juara II Adibakti Mina Bahari Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tingkat Nasional 2009 (kepada Kelompok Masyarakat Subur Makmur)

- Kerapu Award 2018 Bidang Sumber Daya Akuatik dari Keluarga Alumni Perikanan Undip.

Oleh  ADITYA PUTRA PERDANA

Editor:   DAHONO FITRIANTO

Sumber: Kompas, 6 Oktober 2020

No comments:

Post a Comment