Tuesday, May 26, 2020

Marwi, Menghijaukan Kembali Hutan di Area Taman Nasional Gunung Rinjani

KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Marwi saat ditemui, Rabu (6/5/2020), di Dusun Pemotoh Tengak, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, sekitar 35 kilometer arah timur Mataram, ibu kota NTB. Ia menggerakkan warga untuk menghijaukan kembali area di Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok.

Marwi berhasil menggerakkan warga untuk menghijaukan kembali area hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Kini, warga mulai menikmati manfaatnya.

Marwi (58) gelisah karena kian gundulnya hutan Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, akibat pembalakan. Ia pun bergerak mengajak warga untuk menghijaukan kembali kawasan hutan itu.


”Saya lahir dan hidup berdampingan dengan hutan. Makanya saya gelisah kalau hutan itu terus dibabat,” ujar Marwi saat ditemui, Rabu (6/5/2020), di Dusun Pemotoh Tengak, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, sekitar 35 kilometer arah timur Mataram, ibu kota NTB.

Ia lalu berpikir keras untuk menghijaukan kembali hutan yang gundul lewat program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Program itu mesti melibatkan masyarakat selaku pengelola hutan. Mereka bertanggung jawab mengonservasi hutan dan memetik hasilnya.

Hari itu, ia baru saja pulang dari menyambangi warga di lokasi HKm yang tengah memanen buah durian, pisang, dan manggis. ”Berkat hasil tanaman buah di HKm, perekonomian warga tidak terlalu terpengaruh oleh pandemi Covid-19 meski harga jual buah turun,” ujar Marwi dengan nada syukur.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Warga Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, NTB, membawa hasil panen durian. Warga menanam aneka tanaman buah di hutan yang mereka kelola di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok.

Ia menceritakan, sejak mengelola HKm, perekonomian warga di sekitar hutan membaik. Namun, perjuangan ke arah itu cukup panjang. Pasalnya, area yang kini menjadi HKm dulu kondisinya memprihatinkan meski berstatus sebagai kawasan hutan lindung.

Hutan itu mulai rusak setelah keluar kebijakan yang mengizinkan pemanfaatan kayu hutan untuk bangunan rumah dan gedung di era Orde Baru. Kebijakan itu memberi ruang eksploitasi hutan secara besar-besaran yang pada 1975 disebut gawah toaq (hutan tua) atau hutan perawan.

Reboisasi hutan yang berbatasan dengan permukiman penduduk Desa Aik Berik berkali-kali dilakukan, tetapi tidak berhasil. Sebaliknya, aktivitas pembalakan terus berjalan. Tidak heran jika hutan itu makin gundul.

Di tengah eksploitasi hutan secara besar-besaran, warga di sekitar pinggir hutan hidupnya tetap miskin. Mereka hanya bisa menonton ketika kayu hasil tebangan diangkut puluhan truk. Efek degradasi kawasan tersebut terasa tahun 1990-an. Mata air yang ada di dalam hutan tidak lagi mengalir deras.

Saat itu, sering terjadi konflik antarpetani Desa Aik Berik yang mulai kesulitan mendapat air untuk sawah mereka. Padahal, mata air tersebut menjadi sumber pengairan sawah milik warga. Berkurangnya aliran air membuat warga di hulu dan hilir terlibat konflik.

”Kami yang tinggal di daerah hulu dituntut menjaga hutan agar ketersediaan air terjaga. Tapi kami juga ingin ada imbal baliknya,” ujar Marwi yang menjabat Kepala Desa Aik Berik periode 1999-2012.

Pada 1995, saat menjabat Sekretaris Desa Desa Aik Berik, Marwi menemui Dinas Kehutanan NTB untuk menawarkan solusi. ”Kami mau bikin hutan itu hijau lagi asalkan warga mendapat hak kelola,” katanya.

Tawaran itu direspons positif. Warga pun sepakat mempersiapkan beberapa persyaratan, seperti membentuk kelompok, melakukan pendataan, dan membuat tata batas serta tata ruang. Marwi bersama warga kemudian melakukan gerakan menanam di lingkungan pekarangan rumah, pinggir jalan desa, pinggir hutan, hingga lokasi HKm.

Bibit tanaman dipersiapkan sendiri oleh warga. Jenis tanaman yang ditanam beragam, seperti durian, kopi, manggis, pala, lobe-lobe, alpukat, kayu nangka, sentul, garu, jati, kelokos, sengon, kayu borok, empon-empon, dan tanaman lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Tahun 2000, keluar izin sementara kelola hutan seluas 1.042 hektar meliputi Desa Air Berik, Desa Setiling, Desa Lanta, dan Desa Karangsidemen. Ketika izin sudah dikantongi, muncul masalah baru. Izin hak kelola hutan itu dipegang pihak lain yang ternyata tidak ada kegiatan konkretnya di kawasan tersebut.

Tata batas hutan belakangan juga menjadi persoalan karena Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menuding warga sudah masuk wilayah hutan lindung sebelum lokasi itu diusulkan menjadi HKm. Penyelesaian persoalan tersebut membutuhkan proses panjang.

Akhirnya, Kementerian Kehutanan mengeluarkan izin HKm tahun 2007. Desa Aik Berik mendapat izin HKm seluas 842 hektar, sekitar 600 hektar di antaranya dimanfaatkan warga desa itu. Sisanya untuk kawasan lindung dan kawasan wisata air terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu.

Warga Aik Berik juga bekerja sama dengan warga di tiga desa lain untuk membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan). Ada 105 kelompok HKm yang tergabung dalam empat gapoktan.

”Awiq-awiq”
Agar program konservasi hutan berlangsung baik, Marwi ikut mendorong warga membuat awiq-awiq (peraturan) untuk penggarap HKm. Aturan itu melarang penggarap HKm memindahkan dan mengeluarkan kayu dari lokasi HKm.

Jika lahan yang diserahkan pengelolaannya kepada warga, yakni masing-masing 2 hektar, tidak dikerjakan, hak pengelolaannya akan dicabut dan lahannya diambil lagi. Jika membiarkan ternak mereka masuk ke lokasi HKm, warga akan didenda Rp 500.000.

Bagi pengelola yang kedapatan mengonsumsi minuman keras, lahannya dicabut setelah mendapat tiga kali peringatan. Warga yang kedapatan pacaran di lokasi HKm, hak kelola lahan dicabut dan diusir dari lahan garapan. ”Ini pernah terjadi dan pelanggarnya diusir dari kampung,” ucap Marwi.

Awiq-awiq yang sanksinya cukup keras itu ternyata efektif dalam mengonservasi hutan. Kini, hutan di desa itu hijau kembali. Satwa-satwa yang dulunya menghilang muncul lagi. Seputar HKm kembali menjadi habitat kupu-kupu, kera abu-abu ekor panjang, monyet hitam, dan ayam hutan. Mata air baru dengan debit kecil pun bermunculan lagi di sela-sela bekas pohon yang ditebang.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR---Marwi di sisi jalan di Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, Rabu (6/5/2020). Jalan tersebut merupakan hasil swadaya masyarakat.

Selain berhasil menggerakkan penghijauan, Marwi berhasil mendorong warga untuk membangun jalan. Warga merelakan sebagian lahannya dijadikan jalan. Mereka juga mau bergotong royong membangun jalan sepanjang 3 kilometer dari Dusun Pemotoh Tengak ke lokasi obyek wisata air terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu. Lokasi wisata itu juga menjadi sumber penghasilan baru bagi warga yang mau berdagang cendera mata atau makanan.

Marwi mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti dikerjakan. Saat ini, ia tengah memperjuangkan agar persoalan jasa lingkungan diatur oleh peraturan daerah (perda). Dengan perda ini, potensi konflik antara warga di hulu (penyedia air) dan di hilir (pemakai air) bisa diminimalisasi.

”Saya ingin lokasi HKm berfungsi maksimal sebagai daerah penyangga TNGR dan desa yang menggarapnya menjadi sentra buah-buahan,” ujar Marwi.

Marwi

Lahir: 27 Agustus 1962

Istri: Juwaeriah (52)

Pendidikan:
SDN Montong Gamang, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah (tamat 1975)
MTs Darul Mahmudin, Desa Montong Gamang (1978)
MA Darul Mahmudin, Desa Montong Gamang (1981)

Oleh  KHAERUL ANWAR

Editor:  BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 27 Mei 2020

No comments:

Post a Comment