Tuesday, May 26, 2020

Ines Setiawan Melatih Wirausaha Mandiri

ARSIP PRIBADI---Sejak tahun 2014 Ines Setiawan membentuk lembaga wirausaha sosial di bidang pendidikan. Dia melatih banyak orang untuk berwirausaha. Beberapa pelatihan yang dilakukannya, seperti pelatihan pembuatan keju bisa meningkatkan pendapatan banyak orang.

Ines Setiawan menerapkan teori yang dipelajari di kelas dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu itu dibagikan ke banyak orang untuk bisa membantu mendirikan wirausaha mandiri.

Ines Setiawan (42) selalu ingin menjadi guru yang  tak hanya mengajarkan berbagai teori. Lewat sebuah komunitas wirausaha, dia mengimplementasikan pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Semua pelajaran yang diberikan untuk memberdayakan banyak orang.

Ines merupakan guru ilmu pengetahuan alam di sekolah Jerman di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, sejak tahun 2009. Sepanjang kariernya menjadi guru, dia merasa ada batasan kurikulum yang hanya menekankan pada hafalan menjelang ujian dan kurang implementasi dari ilmu yang didapat di kelas pada kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, dia juga merasa guru tidak dapat berkembang di luar kelas karena berbagai alasan seperti takut tidak disukai atasan hingga takut dimutasi.


Dari keprihatinan tersebut, tahun 2014, Ines mendirikan organisasi wirausaha sosial dalam bidang pendidikan, Sustainable Hyper-platform of Indonesian Network of Educators (SHINE). SHINE bertujuan untuk memberdayakan orang yang mau belajar dan mau mengajar melalui peningkatan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Indonesia.

SHINE menyediakan berbagai program belajar yang berbiaya rendah, tetapi memiliki dampak besar. Program pendidikan itu diselenggarakan secara tatap muka maupun secara daring dengan menggunakan WhatsApp grup sehingga bisa menjangkau banyak peminat dari berbagai daerah. Temanya, meliputi sepuluh bidang yang menyentuh sendi dasar kehidupan manusia antara lain air, pangan, energi, sampah, kesehatan, keuangan dan pemanasan global. Ines mencetak wirausaha mikro di berbagai daerah. Siapa saja bisa mengikuti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan SHINE.

Lewat wadah ini, Ines memberikan pengetahuan baru tentang berbagai hal yang sebenarnya merupakan implementasi dari pelajaran di dalam kelas. Sekaligus membuka peluang bagi para guru untuk aktif di luar kelas. Belakangan, semakin banyak orang dengan latar belakang bukan guru yang juga ikut mengajar di komunitas SHINE, karena Ines membuka kesempatan bagi semua orang untuk berbagi.

Melalui SHINE, Ines memberikan berbagai pelatihan, mulai dari cara membuat keju, coklat, hingga menggunakan layar hijau untuk latar belakang film. SHINE  juga memiliki program  membawa keluarga berjalan-jalan ke berbagai tempat untuk belajar mengenai konservasi alam. Awalnya, Ines sendiri turun ke berbagai kota untuk mengajar. Seiring perjalanannya, saat ini sudah ada 63 pengajar aktif SHINE dari berbagai daerah, bahkan sampai ke Lembah Baliem, Papua.

“Mengapa banyak mengajar soal makanan? Saya akan sangat sulit  menceritakan soal jejak karbon, mengajak orang berpikir tentang pemanasan global kalau kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi, tidak ada makanan, tidak ada penghasilan. Melalui kelas pangan, perlahan-lahan mereka bisa diajak berpikir tentang hal lain, seperti mengurangi sampah plastik,” jelas Ines ketika dihubungi secara daring dari rumahnya di kawasan Karawaci, Tangerang (20/4/2020).

Saat pelatihan, biasanya Ines memberikan sejarah atau penjelasan ilmiah mengenai topik pelatihan. Misalnya, ketika pelatihan pembuatan gula  singkong sebagai bahan pembuat gelato, Ines terlebih dahulu menjelaskan karbohidrat terdiri atas tiga jenis yaitu monosakarida, disakarida, dan polisakarida.  Pati merupakan salah satu contoh polisakarida. Barulah, Ines menjelaskan bagaimana caranya membuat pati singkong. Pelajaran tentang rantai karbohidrat ini ada di buku-buku Kimia kelas 12. Gula singkong digunakan sebagai bahan karena penggunaan gula pasir yang memiliki struktur disakarida akan membuat gelato menjadi keras.

Ketika memberikan materi tentang pembuatan selai cokat, Ines pun menggugah peserta dengan menampilkan data Indonesia merupakan penghasil kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun, produktivitasnya rendah dan ekspor sebagian besar berupa bahan baku, bukan bahan jadi sehingga nilainya pun rendah.

Pendapatan meningkat
Kelas pangan SHINE mengajarkan kepada para peternak susu bagaimana caranya mengolah susu menjadi keju murni tanpa campuran  dengan peralatan sederhana yang ada di semua dapur keluarga. “Kalau bisa membuat mi instan, pasti perlengkapannya bisa digunakan untuk membuat keju,” kata Ines.

Masalah yang dihadapi para peternak susu adalah kelebihan produksi susu dan tidak dapat mengolahnya. Dengan kemampuan mengolah susu menjadi keju, tidak ada sisa susu terbuang dan harga jual pun menjadi meningkat pesat. Keju murni rumahan ini lebih baik ketimbang keju produksi pabrikan di pasaran yang hanya mengandung 8 persen susu, sisanya adalah berbagai bahan campuran.

Pelatihan-pelatihan SHINE yang berbiaya murah, mulai dari Rp 35.000 hingga Rp 500.000 memiliki dampak besar jika dilaksanakan. Dari kelas pelatihan keju,  ada peserta di Margo Utomo, Banyuwangi yang saat ini dapat memproduksi keju dari 3.000 liter susu. Seiring dengan perkembangan usaha, peralatannya sudah beralih menjadi  mesin yang lebih modern. Lapangan pekerjaan pun terbuka di sana. Pencapaian itu didapatkan hanya satu tahun setelah mendapat pelatihan dari SHINE.

KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI---Ines Setiawan sedang menjelaskan tentang pengolahan cokelat.

Sementara pelatihan pembuatan selai buah, membantu para petani mengawetkan buah ketika masa panen dengan buah berlimpah. Harga buah jatuh ketika panen tiba tidak dirasakan lagi, karena telah diolah dengan benar, higienis dan sehat. Para petani di desa Songan, Kintamani Bali, sudah dapat mengawetkan tomatnya sehingga tidak lagi membuang tomat-tomat membusuk karena panen berlimpah. Demikian pula dengan petani di Bondowoso yang sudah memproduksi saus tomat botolan dengan merek sendiri.

“Tujuan saya tidak muluk-muluk. Setidaknya, mereka dapat mengkonsumsi produk yang biasa dibeli dengan harga lebih mahal menjadi jauh lebih murah, juga lebih berkualitas dan sehat. Setelah dapat membuat bahan pangan untuk keluarga, ada beberapa yang mampu memproduksi untuk dijual, sehingga pendapatan keluarga pun bertambah,” ujar Ines.

Menurut dia, ilmu membuat makanan yang sehat dan berkualitas bukanlah ilmu langit ketujuh yang hanya dapat dikuasai oleh segelintir orang saja.

Di Papua, Ines juga membantu ibu-ibu untuk memproduksi bahan makanan. Dia mencontohkan, di Desa Sogokmo,  Lembah Baliem, Papua ibu-ibu harus menghabiskan waktu berjam-jam ke pasar hanya untuk membeli gula. Padahal, sumber karbohidrat lain seperti ubi banyak terdapat di sana. Dia pun mengajarkan kepada sepasang suami istri guru sekolah Inpres tentang bagaimana caranya membuat gula dari ubi. Guru itu lalu mengajarkan kepada dua keluarga sehingga dapat membuat gula sendiri.

Jeruk juga berlimpah di sana, hingga jatuh busuk ke tanah. Kini, para ibu di Lembah Baliem sudah bisa  membuat marmalade, selai jeruk secara sederhana tetapi berkualitas tinggi, untuk dipasok ke hotel setempat. Kelompok pembelajaran berkembang menjadi 10 keluarga. Dengan dapat membuat makanan dari bahan setempat, Ines pun mengajarkan swasembada pangan akan mengurangi jejak karbon karena makanan tidak perlu dibawa dari tempat jauh.

“Kami memberikan solusi langsung, tidak mungkin kalau masalah-masalah yang ada diselesaikan dengan cara belajar dahulu sampai pintar lalu baru bertindak. Persoalan di lapangan memerlukan penyelesaian segera,” kata Ines.

KOMPAS/JOICE TAURIS SANTI---Ines Setiawan membantu banyak orang untuk meningkatkan pendapatannya.

Selain kelas, di komunitas SHINE juga ada beberapa grup WA juga terus ramai dengan beragai bahasan dari lingkungan hingga mengatur keuangan.  Peserta pelatihan dan grup-grup diskusi bukan hanya ibu-ibu rumah tangga saja, tetapi juga para lelaki pekerja kantoran yang sibuk membahas pembuatan lubang biopori hingga keju.

Biaya yang dikenakan untuk mengikuti kelas SHINE tampaknya murah bagi sebagian besar orang. Tetapi kenyataannya, masih ada saja orang yang tidak mampu membayarnya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya pelatihan, SHINE memberikan beasiswa berupa pembebasan biaya pelatihan. Selain itu, bahan-bahan pun dapat diberikan gratis. Ines telah memastikan bahan-bahan yang diberikan untuk pelatihan adalah bahan yang sudah mengantungi sertifikat halal dan tidak berdampak buruk bagi kesehatan serta terbuat dari bahan alami, bukan bahan kimia.

SHINE telah memiliki beberapa orang yang ditunjuk menjadi agen penyedia bahan-bahan tersebut. “Saya ingin harga yang diberikan juga kompetitif. Tidak terlalu mahal sehingga dapat dijangkau. Keuntungan dikembalikan menjadi dana beasiswa pelatihan dan pemberian bahan gratis bagi mereka yang mau benar-benar memulai usahanya,” kata Ines.

Walaupun sudah menghasilkan banyak wirausahawan dari komunitasnya, Ines masih terus berharap ada semakin banyak orang mau mengajar dan berbagi untuk orang lain. “Masih diperlukan lagi banyak pengajar, masih banyak persoalan di lapangan,” kata dia lagi. Dengan semakin banyak orang yang mau mengajar, pelatihan-pelatihan SHINE semakin berguna untuk lebih orang banyak.

Ines Puspita Setiawan

Lahir      : Banyuwangi, 30 Desember 1977

Pekerjaan :
– Guru Deutsche Schule Jakarta (2009-sekarang)
– Pendiri SHINE (2014-sekarang)
– Konsultan Australian Rural Leadership Foundation (2013-sekarang)
– Kumnamu Korean School (2001-2009)

Pendidikan:
First Step Korean Yonsei University via Coursera (2012)
Introduction to Genetics and Evolution Duke University via Coursera (2012)
Internet History, Technology, and Security University of Michigan via Coursera (2013)
Synapses, Neurons, and Brains The Hebrew University of Jerusalem via Coursera (2013)
Teaching Knowledge Test 1, 2, 3 Cambridge ESOL (2013)
Bachelor of Management Pelita Harapan University (Magna cum laude) (1995-1999)

Oleh  JOICE TAURIS SANTI

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 26 Mei 2020

No comments:

Post a Comment