Thursday, September 24, 2020

Suparedy Memuliakan Purun, Menyejahterakan Warga

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI---Suparedy  memuliakan purun sehingga bisa menjadi sandaran ekonomi warga Desa Menang Raya, Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Tak ingin desanya kembali terbakar Suparedy (60) berupaya untuk memuliakan purun. Dengan menjadikan purun sebagai sandaran ekonomi warga, mereka pun berusaha untuk terus menjaga gambut.

Suparedy adalah Kepala Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Tanpa segan, dia berkeliling pameran produk dari lahan gambut yang ada di kantor Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Sumatera Selatan di Palembang, Jumat (11/9/2020).

Penampilannya berbeda dari peserta yang lain, unik dan menarik perhatian. Suparedy mengenakan peci yang terbuat dari anyaman purun. Peci tersebut berwarna-warni dan unik. Mulutnya pun ditutup dengan masker bermotif jumputan dikombinasikan dengan anyaman purun di sisi kanan dan kiri masker.

Sesekali dia menjelaskan panjang lebar tentang produk yang dibawanya, yakni purun dengan beragam bentuk seperti karpet, rompi, sandal, tempat tisu, tempat botol, topi, dan beragam produk lainnya. Terkait harga pun dia hafal hingga di luar kepala. Seakan dia ingin memperkenalkan kepada banyak orang tentang anyaman purun yang berasal dari desanya.

Ada 2.115 keluarga di Desa Menang Jaya, sebagian besar warganya terutama perempuan dan anak-anak bekerja sebagai perajin purun. ”Menjadi perajin purun sudah membudaya sejak nenek moyang,” ujar Suparedy. Jika kita datang ke Desa Menang Raya, hampir semua perempuan mahir menganyam purun.

Purun menjadi salah satu sumber penghasilan warga sejak turun-temurun. Itu karena memang purun melimpah di desanya. Desa Menang Jaya merupakan kawasan gambut yang memilki danau yang ditumbuhi purun. ”Jumlah batang purun melimpah di desa kami,” ujarnya.

Namun, untuk mendapatkannya, warga harus menggunakan perahu atau berenang mencabut batangan purun. ”Bahkan, untuk sampai ke tempat dengan jumlah purun terbanyak butuh waktu berlayar hingga empat jam,” ujarnya.

Sebelum dianyam, purun harus dijemur. Jika kondisi panas baik, butuh waktu sekitar 2 hari, tetapi jika cuacanya tidak mendukung, waktu penjemuran bisa mencapai 4 hari. Setelah kering, batang purun dipipihkan, setelah pipih, kemudian direbus untuk selanjutnya diberi warna dengan menggunakan pewarna tekstil.

”Setelah diwarnai kemudian dianyam sesuai dengan kebutuhan,” katanya.

Kebakaran lahan

Malapetaka datang pada tahun 2015  di mana kebakaran besar terjadi. Lahan gambut yang ada di desa mereka terbakar. Akibatnya, warga kesulitan untuk mendapatkan purun. Sejak kebakaran, warga kesulitan untuk mendapatkan purun sekitar lima sampai tujuh bulan.

Kalaupun masih ada purun, hasilnya tidak optimal. Batang purun menjadi kerdil karena air yang terus surut karena gambut menjadi kering. ”Biasanya tinggi purun akan menyesuaikan ketinggian air dalam gambut. Jadi, ketika gambut itu kering, pertumbuhan purun pun terhambat,” ujarnya. Kejadian itu menjadi kehilangan besar bagi warga.

Di sisi lain, ketika kebakaran lahan terjadi, dia sibuk menerima telepon dari aparat keamanan. ”Sebagai kepala desa, jika ada lahan yang terbakar di desa ini, saya sering ditelepon oleh Kapolres atau dandim,” ujarnya.

Tidak ingin kejadian mengerikan itu terulang, Suparedy yang baru menjabat sebagai kepala desa pada 2016 langsung berupaya menjaga gambut agar tidak terbakar. Salah satu caranya adalah memaksimalkan potensi gambut untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Atas dasar itulah pada 2018, Suparedy membentuk kelompok perajin purun yang diberi nama Kelompok Mawar. Di dalam kelompok ini, anggotanya diberikan pelatihan untuk menganyam purun. Satu tahun berselang, Suparedy bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mengembangkan kerajinan purun tidak terbatas pada pembuatan tikar dan bakul, tetapi bisa dikembangkan ke produk lain yang memiliki nilai tambah.

Ada lima orang kemudian diberangkatkan ke Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan terkait pembuatan produk kerajinan. Di sana para perajin dilatih untuk membuat anyaman dengan beragam produk seperti kotak tisu, tas, rompi, bahkan sandal.  ”Kami hanya memberangkatkan beberapa orang, dengan harapan nantinya mereka dapat menularkan kemampuan ini kepada perajin lain di desa ini,” ucapnya.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI---Suparedy membentuk kelompok perajin purun yang diberi nama Kelompok Mawar untuk dilatih menganyam purun.

Bekal pengetahuan dan keterampilan pun didapatkan. Selain menciptakan sejumlah produk baru, selain purun, mereka juga mengetahui bagaimana cara untuk membuat kerajinan ini tahan lama dan tidak dimakan rayap. ”Kita kasih pernis, selain untuk menyempurnakan pewarnaan, bahan ini juga dapat mencegah kerajinan tersebut hancur dimakan rayap,” kata Suparedy.

Dengan membuat beragam kerajinan, purun pun ”naik level” dari yang semula hanya dianyam menjadi tikar dan bakul, kini bisa digunakan untuk beragam kerajinan seperti sandal, tempat tisu, tas, rompi, tanjak (topi khas Sumsel), tempat botol, dan beragam kerajinan yang lain.

Secara tidak langsung, hal ini juga berdampak pada perekonomian masyarakat. Penghasilan para perajin meningkat drastis. Dari  pendapatan rata-rata yang semula hanya Rp 10.000 per hari, sekarang bisa menjadi Rp 40.000 per hari.

Suparedy menjelaskan, jika perajin hanya menganyam purun menjadi tikar, keuntungannya hanya Rp 10.000-Rp 20.000 per hari. Memang harga satu lembar tikar bisa mencapai Rp 200.000. Namun, untuk membuat satu lembar tikar purun membutuhkan waktu hingga seminggu,” ujarnya. Karena selain mengayam, ada proses penjemuran dan pewarnaan.

Berbeda jika tikar itu dijadikan beragam kerajinan lain contohnya saja kotak tisu. Dalam satu lembar tikar bisa disulap menjadi 10 kotak tisu. Satu kotaknya seharga Rp 50.000. Dengan demikian, nilai tambahnya kerajinan purun akan jauh lebih banyak.

Berbagi ilmu

Satu tahun berlalu, ujar Suparedy, sejumlah kerajinan sudah dapat dihasilkan dan menjadi daya tarik bagi konsumen. Bahkan, pembeli kami banyak yang datang dari luar kota seperti Palembang, Jambi, Lampung, Bogor, Bandung, Surabaya, dan sejumlah kota di Kalimantan. ”Kami ingin mengembangkan pasar hingga ke luar negeri. Tapi kami harus mengembangkan pengetahuan terlebih dahulu,” ujarnya.

Beberapa mahasiswa juga melakukan kuliah kerja lapangan di desanya juga mempelajari bagaimana mengolah purun menjadi bahan yang bernilai. ”Saya suruh mereka merangkai dan menjahit sendiri purun tersebut agar menjadi bahan yang bernilai.

Ada satu misi lagi yang sedang dia rencanakan, yakni mengirim anggota yang tergabung dalam kelompok mawar ke Kalimantan Selatan. ”Di sana mereka akan mempelajari bagaimana menyematkan nama orang di kerajinan purun,” ucapnya. Baginya memuliakan purun tidak hanya menjaga lingkungan tetapi memelihara desa.

Suparedy

Lahir: Pedamaran, 7 April 1960

Istri:  Maryulis (57)

Anak: 6

Pendidikan:

SD 5 Pedamaran (1973)

SMP Persatuan Pedamaran (1976)

SMA Negeri 1 Kayu Agung (1978)

D1 Matematika  Univesitas Sriwijaya (1980)

D3 Univesitas Terbuka Palembang (1995)

Pekerjaan:

Pegawai Negeri Sipil Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Pedamaran (1983-2013)

Kepala Desa (2016-sekarang)

Oleh  RHAMA PURNA JATI

Editor:    MARIA SUSY BERINDRA


Sumber: Kompas, 25 September 2020

No comments:

Post a Comment