Thursday, March 14, 2019

Sony Teguh Trilaksono Mengajarkan Kecintaan pada Lingkungan

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Sony Teguh Trilaksono (57) di rumahnya di Jalan Raya Kodau V, Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019).

Hidup di kota metropolitan yang penuh dengan masalah sampah mendorong Sony Teguh Trilaksono (57) untuk menjadi pengabdi lingkungan. Ia membangun rumahnya sebagai contoh keseimbangan kehidupan manusia dengan alam dan menularkan semangat tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.

Hunian seluas 1.000 meter persegi yang ada di Jalan Raya Kodau V, Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, itu tampak biasa saja dari luar. Hanya sebuah rumah besar dikelilingi pagar beton yang tingginya sekitar 2 meter. Namun, pada salah satu bagian pagar terdapat papan besi bertuliskan rumah percontohan pengelolaan lingkungan dari Pemerintah Kota Bekasi.


Sony, saat ditemui di rumahnya pada Rabu (20/2/2019), mengatakan, rumah yang ia bangun dan tinggali sejak 1997 itu menjadi percontohan pengelolaan lingkungan selama beberapa tahun terakhir. Sebab, huniannya bersama istri dan tiga anak itu menerapkan konsep zero waste. Sudah lebih dari 13 tahun tidak ada sampah yang diproduksi dari sana.

Bagaimana bisa? Sony memilah sampah sejak dari hulu. Di rumanya terdapat dua jenis tempat sampah, yaitu untuk sampah organik dan anorganik untuk memisahkan sampah yang bisa dikembalikan ke alam atau didaur ulang. Adapun sampah anorganik ia setorkan ke bank sampah di lingkungannya.

Untuk menampung sampah organik, Sony mengoptimalkan fungsi lubang biopori. Di rumahnya, terdapat lebih dari 90 lubang berdiameter sekitar 10 centimeter dan bekedalaman 1,2 meter. Lubang-lubang itu juga berfungsi untuk menyerap air, sehingga tidak pernah ada genangan di sana.

Bagi Sony, keberadaan lubang biopori begitu istimewa. Dari lubang itu, manusia bisa membantu menyuburkan tanah setelah menyerap berbagai manfaat darinya. “Lubang biopori adalah lubang kehidupan yang bisa merangsang tanah untuk hidup kembali,” kata dia.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU---Suasana kediaman pegiat lingkungan Sony Teguh Trilaksono (57) di Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019). Rumah tersebut menjadi percontohan pemberdayaan lingkungan karena menerapkan konsep zero waste.

Selain ditampung pada lubang biopori, Sony juga menyediakan lima tong dan satu bak beton untuk memfermentasi sampah. Pada wadah-wadah itu, sampah dikonversi menjadi kompos. Pupuk organik itu pun ia gunakan sendiri untuk menanam aneka jenis tumbuhan.

Di rumah itu juga, ada puluhan jenis tanaman mulai dari tanaman hias, buah, hingga obat. Tumbuh-tumbuhan itu memenuhi pekarangan seluas hampir 300 meter persegi. Mereka ditanam dan ditata secara teratur baik secara langsung maupun di dalam pot yang diletakkan secara vertikal dan horizontal.

Mengedukasi masyarakat
Pembangunan rumah ramah lingkungan itu bukan tanpa sebab. Sejak belia, Sony memang seorang pencinta tanaman. Kepeduliannya terhadap lingkungan semakin menguat ketika dewasa. “Sebagai generasi tua yang sudah merusak lingkungan, saya merasa bertanggung jawab untuk memperbaikinya,” tutur Sony.

Namun, ia pun sadar upaya itu tidak cukup dilakukan sendirian dari rumah. Kepedulian terhadap lingkungan perlu membudaya di kalangan masyarakat. Karena itu, ketua komunitas pencinta Iwan Fals, Orang Indonesia (Oi) periode 1999-2014 itu mengajak 9,7 anggotanya yang tersebar di seluruh penjuru negeri untuk mulai berkegiatan yang terkait dengan lingkungan.

Sony pun menggunakan rumahnya sebagai tempat lokakarya bagi anak-anak Oi. Materi yang dipelajari di antaranya penghijauan dan pembuatan lubang biopori. Dari pembelajaran bersama itu, mereka mampu menghasilkan inovasi di antaranya membuat pupuk cair organik yang diberi nama BiOipori.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Sony Teguh Trilaksono (57) di rumahnya di Jalan Raya Kodau V, Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019).

Saking asyiknya mengembangkan pengetahuan bersama anak-anak Oi, Sony hampir lupa dengan wilayah tempat tinggalnya. Sudah sejak lama, Kota Bekasi berkutat dengan masalah sampah. Selain harus mengurus sampah warganya, kota ini juga menampung sampah dari 10 juta warga DKI Jakarta di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (Bantargebang).

Bahkan, pada 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mengumumkan empat kota terkotor di Indonesia. Untuk kategori kota metropolitan, Kota Bekasi adalah salah satunya. Wali Kota Bekasi periode 2003-2008 Ahmad Zurfaih mengatakan, pembenahan kebersihan di terminal dan pasar tradisional perlu diprioritaskan (Kompas, 14/6/2006).

Tiga tahun setelahnya, Kota Bekasi kembali geger karena berhasil mendapatkan Adipura atau penghargaan kota terbersih dari Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, penghargaan tersebut justru menjadi bahan olok-olok. Wali Kota Bekasi periode 2008-2012 Mochtar Mohamad ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat sejumlah kasus penyuapan, salah satunya menyuap panitia seleksi Adipura (Kompas, 18/11/2010).

Oleh karena itu, Sony pun mulai merintis pembangunan budaya cinta lingkungan di Kota Bekasi. Sudah sejak 2005, ia membuka rumahnya sebagai tempat pembelajaran bagi masyarakat setempat, baik dari kalangan pejabat maupun warga. Salah satu pejabat yang pertama kali datang untuk belajar tentang lingkungan di sana adalah Ahmad Syaikhu, Wakil Wali Kota Bekasi periode 2013-2018, yang pada 2004-2009 masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Suasana kediaman pegiat lingkungan Sony Teguh Trilaksono (57) di Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019). Rumah tersebut menjadi percontohan pemberdayaan lingkungan karena menerapkan konsep zero waste.

Selain itu, Sony juga mendirikan komunitas Rumah SOPAN (Seni, Olahraga, Pendidikan, Akhlak, dan Niaga). Pencinta musik dan mantan karateka nasional itu menjadikan komunitas tersebut sebagai wadah pemberdayaan masyarakat di sejumlah bidang dengan benang merah soal lingkungan.

Di tengah kesibukannya bekerja, ia meluangkan waktu untuk berbagi ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang berkecimpung di Rumah SOPAN. Di komunitas itu, mereka mengembangkan teori dan praktik terkait penghijauan, pembuatan lubang biopori, pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri, dan mendorong wiausaha dari aktivitas pertanian perkotaan.

“Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan soal lingkungan, seluruhnya saya pelajari dengan membaca, mengobservasi, coba-coba, dan mencatat,” kata lulusan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Ia pun gemar mengumpulkan literatur yang mendukung aktivitasnya. Sampai saat ini, ada sekitar 2.500 buku di perpustakaan pribadinya yang bisa dibaca warga kapan saja.

Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan terkait, pembelajaran Sony bersama masyarakat membuahkan beberapa karya. Ia mengembangkan beberapa teknologi di antaranya pembuatan lubang biopori yang kuat dan murah; pengolahan sampah organik menggunakan jamur agar tidak dihinggapi lalat dan belatung; serta membuat komposter multiguna yang bisa menghasilkan pupuk organik padat dan cair sekaligus.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Contoh literatur yang ada di kediaman pegiat lingkungan Sony Teguh Trilaksono (57) di Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019). Rumah tersebut menjadi percontohan pemberdayaan lingkungan karena menerapkan konsep zero waste.

Konsisten
Menurut Sony yang gemar mempelajari sejarah, pada dasarnya masyarakat Kota Bekasi adalah pencinta lingkungan. Wilayah Bekasi sampai Karawang merupakan bekas wilayah Kerajaan Tarumanegara yang memiliki teknologi tinggi dalam pengelolaan lingkungan. Semangat membangun peradaban di masa lalu itu pun bisa dijadikan motivasi bagi warga untuk berubah. Akan tetapi, hal tersebut jelas membutuhkan waktu yang panjang.

Oleh karena itu, Sony tetap konsisten membangun kecintaan terhadap lingkungan sejak 21 tahun yang lalu. Di lingkup Kota Bekasi, saat ini ia menjadi pembina untuk beberapa program lingkungan. Misalnya bank sampah induk, program kampung iklim (Proklim), dan pembuatan taman vertikal di permukiman kumuh.

Pembelajaran di rumahnya pun terus berlangsung. Dalam setahun, lebih dari 50 kali lokakarya diselenggarakan di sana. Peserta tidak hanya datang dari Kota Bekasi, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia. Selain itu, Sony juga aktif melatih warga di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) di DKI Jakarta.

Seluruhnya Sony lakukan secara mandiri, ia tidak meminta bayaran dari pihak mana pun. Lelaki yang pernah menduduki jabatan tertinggi di salah satu badan usaha milik negara itu mengatakan, sudah tidak menargetkan capaian apapun. “Memasuki masa pensiun ini, apa lagi yang saya cari selain mengabdi kepada masyarakat,” ujarnya.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Sony Teguh Trilaksono (57) di rumahnya di Jalan Raya Kodau V, Jatimakmur, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (20/2/2019).

Sony Teguh Trilaksono

Lahir: Malang, 27 Oktober 1961

Pendidikan terakhir: S1 IKIP Jakarta, Pascasarjana Universitas Gajah Mada

Penghargaan:
Adikarya Pengabdian Sewaka dari Menteri Komunikasi dan Informatika dan Presiden RI (2013)
Pelopor Pemberdayaan Masyarakat bidang Lingkungan dari Gubernur Jawa Barat (2015)
Pelopor Pemberdayaan Masyarakat bidang Lingkungan dari Gubernur Jawa Barat (2016)
Pelopor Gerakan Berjuta Biopori dari Panglima TNI (2016)

Istri: Antien Ester Savitri

Anak:
Gemilang Ramadhan Santoso
Faiz Agung Baskoro
Nadhifa Trihapsoro

KURNIA YUNITA RAHAYU

Sumber: Kompas, 15 Maret 2019

No comments:

Post a Comment