Saturday, April 17, 2021

Ayung Notonegoro, Menyingkap Sejarah di Balik Aksara Pegon

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO----Pendiri Komunitas Pegon Ayung Notonegoro

Keberadaan Komunitas Pegon memberi warna tersendiri dalam kehidupan generasi muda di Banyuwangi. Di tengah kemajuan Banyuwangi, nilai-nilai yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno tetap lestari.

Sebuah kitab kuno yang ada di meja, dibuka perlahan. Tangan yang sudah dibalut menggunakan sarung tangan lateks mengeja perlahan kata per kata aksara pegon. Dari aksara-aksara tersebut Ayung Notonegoro (31) mencoba menguak sebuah kisah yang mungkin berguna bagi masa depan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pegon berarti aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, atau tulisan Arab yang tidak diberi tanda-tanda (diakritik). Aksara pegon kerap disebut tulisan Arab gundul. Pegon Jawa, huruf vokalnya menggunakan huruf bukan harakat. Berbeda dengan pegon Melayu, yang huruf vokalnya menggunakan harakat.

“Pegon itu berarti menyimpang. Aksara pegon berarti aksara yang menyimpang dari pakem. Aksara pegon tidak sesuai dengan pakem huruf hijaiyah, karena penulisannya berdasarkan bahasa Jawa atau Melayu,” kata Ayung Notonegoro, Pendiri Komunitas Pegon Banyuwangi.

Lahirnya Komunitas Pegon berawal saat Ayung mendapat tugas dari PCNU Banyuwangi untuk menulis sejarah Nahdlatul Ulama Banyuwangi. Ia masih ingat betul, kala itu Bulan Ramadhan tahun 2016.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO---Pengunjung mengamati Al Quran kuno yang dikumpulkan oleh Komunitas Pegon dan dipamerkan di Pondok Pesantren Al Anwari, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (23/5/2019).

Dalam riset-riset di lapangan, Ayung merasa ada banyak hal yang perlu diketahui publik terutama untuk NU dan masyarakat secara luas. Karena itu, kendati proyek penulisan dari PCNU sudah rampung, ia tetap melanjutkan kerja penelitian sejarah tersebut.

Ayung mendedikasikan Komunitas Pegon sebagai sarana penelitian, pendokumentasian dan publikasi tentang sejarah pesantren dan NU di Banyuwangi. Disebut Komunitas Pegon, karena banyak naskah, buku atau kitab-kitab yang mereka temukan sebagai dasar penelitian merupakan manuskrip (tulisan tangan) beraksara Pegon.

“Kami banyak meriset pustaka-pustaka peninggalan para kyai. Bagi kami rumah kyai sepuh dan pesantren tua merupakan ‘bank informasi’ yang luar biasa. Banyak yang menilai pustaka-pustaka tersebut sebagai peninggalan biasa, namun bagi kami itu sumber informasi penting,” kata penulis buku Islam Blambangan tersebut

Di kalangan pesantren, ada kebiasaan menuliskan hal-hal penting dan diselipkan di kitab kuning atau kitab yang sedang dikaji. Catatan tersebut biasanya menyimpan informasi penting yang selama ini kurang diketahui.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO---Pendiri Komunitas Pegon Ayung Notonegoro

Selain mencari catatan tersebut, Komunitas Pegon juga mengoleksi buku-buku manuskrip kuno. Sedikitnya sudah ada 50 buku kuno yang menjadi koleksi komunitas pegon. Sebagian besar merupakan naskah pesantren berupa manuskrip Al-Quran, fiqih dan tauhid, kitab primbon dan syair.

Saat berhadapan dengan naskah-naskah kuno, Ayung dan kawan-kawan harus sabar mentransliterasi aksara pegon ke Bahasa Indonesia untuk menguak pesan yang tersimpan di balik tulisan-tulisan kuno tersebut. Kesabaran juga diperlukan saat membuka lembaran-lembaran naskah kuno yang sudah rapuh dan mudah rusak tersebut.

Naskah tersebut selanjutnya diteliti untuk merekonstruksi kisah yang selama ini masih sumir. Ia mencontohkan, kisah-kisah perjuangan para kyai yang selama ini hanya dituturkan dari mulut ke mulut, kini dengan bekal temuan pustaka tersebut menjadi cerita yang lebih konkret.

Tak hanya meneliti, Komunitas Pegon juga melakukan pendokumentasian benda-benda bersejarah. Beberapa hal yang didokumentasikan misalnya, buku/kitab para ulama, manuskrip karya para ulama dan keluarga pesantren, foto, kartu-kartu ucapan bahkan hingga kuitansi-kuitansi yang tersimpan di pesantren-pesantren tua.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO---Pengunjung mengamati sejumlah Al Quran kuno yang dikumpulkan oleh Komunitas Pegon dan dipamerkan di Pondok Pesantren Al Anwari, Banyuwangi, Kamis (23/5/2019). Al Quran yang dipamerkan sebagian besar merupakan manuskrip yang ditulis pada tahun 1860-an. Pameran ini bertujuan untuk mengenalkan khazanah Islam di Banyuwangi pada masa-masa awal berkembangnya Islam di sana.

“Kami ingin merekam masa lalu. Suatu ketika, benda-benda yang kami kumpulkan ini mungkin akan berguna untuk merekontruksi masa lalu. Kami kumpulkan detail-detail kecil yang dianggap remeh ini untuk mendukung konstruksi sejarah,” tutur pemuda yang pernah menjadi pengurus Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Timur tersebut.

Komunitas Pegon juga melakukan publikasi atas apa yang mereka teliti dan dokumentasikan. Publikasi biasa dilakukan Ayung melalui media sosial hingga portal Alif.id. Bagi Ayung, publikasi ini merupakan penyampaian hipotesa awal sebagai pancingan agar ada tanggapan yang memperkaya, meluruskan atau bahkan mengkritisi temuannya.

Temuan

Salah satu temuan terbaru yang didapatkan oleh Komunitas Pegon ialah, sebuah manuskrip yang ditulis oleh Tumenggung Pringgo Kusumo, Bupati Banyuwangi kelima yang berkuasa pada periode 1860 hingga 1880. Manuskrip ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Blambangan.

Saat kitab babat ataupun lontar baru sulit ditemukan, Komunitas Pegon justru menemukan manuskrip berisi sejarah Banyuwangi yang ditulis oleh orang Banyuwangi. Selama ini cerita tentang Kerajaan Blambangan banyak didasarkan pada Babat Blambangan atau Babat Tawang Alun yang tidak ditulis langsung oleh orang asli Banyuwangi, melainkan oleh pejabat utusan dari pemerintah Hindia Belanda.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO----Anggota Tim Digitalisasi Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea) Bendictus Satya Wijayanto membersihkan salah satu manuskrip kuno yang ditemukan untuk kemudian didigitalisasi di Banyuwangi, Selasa (26/3/2019) malam. Upaya digitalisasi manuskrip kuno dilakukan untuk melestarikan keragaman isi manuskrip Asia Tenggara sebagai produk tulisan masa lampau yang terancam kepunahannya.

“Manuskrip temuan kami ini merupakan karya buah pikiran dari Tumenggung Pringgo Kusumo. Namun ada dua kemungkinan ini tulisan asli beliau, atau salinan dari tulisan Bupati Pringgo Kusumo,” ujar Ayung.

Saat ini, Ayung dan rekan-rekannya di Komunitas Pegon belum sepenuhnya rampung meneliti temuan manuskrip ini. Namun yang pasti, cerita tentang sejarah Blambangan ini belum terpublikasi sama sekali sehingga akan memperkaya khasanah sastra Banyuwangi.

Hasil perburuan naskah kuno dan penelitian Komunitas Pegon juga membawa Ayung pada sebuah kisah perjuangan Kyai Banyuwangi dalam merebut kemerdekaan. Dari sebuah catatan yang ia temukan di Pesantren Lateng, Ayung menemukan kisah tentang Kyai Saleh Lateng.

“Dari catatan-catatan yang tertinggal, dapat disimpulkan bahwa Kyai Saleh Lateng merupakan seorang ideolog, penggerak perlawanan. Di era kolonial, beliau sudah mengajarkan persamaan hak di depan hukum dan anti penindasan,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris PCNU Banyuwangi.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO----Pendiri Komunitas Pegon Ayung Notonegoro

Dalam catatan yang ia temukan, terselip informasi bahwa pada than 1917, pesantren itu pernah dibakar oleh Belanda. Kuat dugaan hal ini karena sikap Kyai Saleh Laten yang tidak loyal dengan Pemerintah Belanda.

Dari hasil temuan Komunitas Pegon, ternyata ada sejumlah nama Kyai Banyuwangi yang memiliki kontribusi untuk negara. Namun, karena para santri tidak mengungkapkan hal itu, pemikiran dan perjuangan para kyai hilang di telan zaman.

Melalui kajian-kajian manuskrip pegon, Ayung juga menemukan sangat banyak jejak sejarah Islam nusantara dan kiprahnya di Banyuwangi. Hal ini yang ingin ditelusuri Komunitas Pegon untuk dipelajari, dituturkan dan tularkan pada anak-anak muda di Banyuwangi.

Atas dedikasinya Komunitas Pegon diganjar Nugrha Jasa Dharma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional. Penghargaan tersebut ditujukan pada pegiat literasi dalam kategori pelestari naskah kuno.

Keberadaan Komunitas Pegon memberi warna tersendiri dalam kehidupan generasi muda di Banyuwangi. Di tengah kemajuan Banyuwangi, nilai-nilai yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno tetap lestari berkat kecintaan kaum muda pada naskah-naskah kuno.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO----Pendiri Komunitas Pegon Ayung Notonegoro

Ayung Notonegoro

Lahir: Banyuwangi, 25 Juli 1990

Pendidikan:

Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum

Madrasah Tsanawiyah Sunan Ampel

SMA Sultan Agung, Rogojampi

IAI Ibrahimy Genteng Pendidikan Agama Islam (tidak lulus)

Organisasi:

Pengurus IPNU Banywuangi (2013-2017)

Pengurus IPNU Jawa Timur (2016-2018)

Wakil Sekretaris PCNU (2018-2020)

Penghargaan:

Nugrha Jasa Dharma Pustaloka Perpustakaan Nasional (2019) Sebagai Pelestari Naskah Kuno

Tokoh Inspiratif Banyuwangi 2019

Finalis Keluarga Inspirtaif Kementerian Pemuda dan Olahraga (2020)

Bibliotika

Sejarah NU Banyuwangi (2016)

Authorized Biography of Masykur Ali: Jalan Pengabdian (2018)

Kronik Ulama Banyuwangi (2018)

Islam Blambangan (2020)

Manunggaling NU Ujung Timur Jawa (2021)

Aktif menulis di Alif.id

 Oleh   ANGGER PUTRANTO

Editor:   DAHONO FITRIANTO

Sumber: Kompas, 17 April 2021

No comments:

Post a Comment