Friday, February 15, 2019

Rakhmad Hardiyanto, Petani Milenial dari Batu


DEFRI WERDIONO--Rakhmad Hardiyanto tengah menunjukkan buah jambu kristal di kebunnya, Jumat (1/2/2019)

Rakhmad Hardiyanto (35) menanggalkan ilmunya di bidang permesinan. Sejak 2012 Ia banting setir ke dunia petanian, menekuni agribisnis dengan jenis komoditas jambu kristal. Dia menerapkan tata cara  pertanian modern, dengan harapan bisa mencetak petani-petani milenial.

Kesibukan lelaki yang akrab disapa Hardi, hanya terhenti oleh ibadah Shalat Jumat (1/2/2019). Sebelum dan sesudahnya, di sela-sela order yang datang, ia sibuk menemui tamu. Sementara itu sejumlah mahasiswa Institut Pertanian Bogor masih menunggu di kebun miliknya yang dia sebut sebagai Kebun Display. Mereka baru tiba dan akan mengikuti praktik kerja lapangan (PKL) di tempat itu.

Di Kebun Display berukuran sekitar 1.000 meter persegi yang penuh oleh tanaman jambu kristal itulah Hardi biasa menghabiskan waktunya setiap hari. Rumah bertingkat di tengah kebun menjadi kediaman sekaligus tempat produksi. Di tempat ini pula karyawannya sibuk mengemas buah jambu segar yang baru saja dipanen untuk selanjutnya dikirim ke pasar.

Sejak tujuh tahun silam Hardi telah menyasar pasar ritel di Malang dan beberapa kota lainnya. Ia juga melayani konsumen yang ingin mendapatkan buah jambu kristal secara daring. Hardi bersama 17 petani mitra (plasma) menghasilkan sekitar 200 kilogram jambu setiap harinya.

“Saya tidak mematok produksi harian yang tinggi, karena kami lebih berbicara soal kualitas. Cukup dua kuintal per hari,” ucapnya. Saat ini ada sekitar 6.800 pohon jambu kristal milik Hardi dan petani yang menjadi plasma. Yang menarik, pohon-pohon tersebut sudah bersertifikat berikut turunannya.

Selain menyuplai pasar, sejak 2014 lalu Hardi juga membuka kebunnya untuk wisata petik jambu. Cara ini dilakukan sekaligus untuk merespon potensi Batu sebagai tempat tujuan wisata di Jawa Timur. Penduduk Batu hanya 220.000 jiwa namun sebanyak 5,2 juta wisatawan berkunjung tempat itu selama 2018.

“Wisata petik jambu lebih sebagai kegiatan turunan agrobisnis saya,” katanya. Di bawah bendera UD BumiAji Sejahtera, Hardi tidak hanya berkonsentrasi pada jambu kristal namun juga sayuran dan jeruk lemon. Namun, baru jambu kristal yang telah merangkul belasan plasma.

Keterlibatan Hardi dalam dunia pertanian berawal saat dirinya menikah tahun 2012. Mertuanya petani dan memiliki sekitar 60 pohon jambu kristal yang dulu disebut dengan istilah jambu apel. Sebelumnya, sang mertua masih merawat dan menjual jambu berumur empat tahun itu secara tradisional.

Mengetahui rasa jambu enak, Hardi sering membawa jambu itu ke tempat kerjanya di salah satu badan usaha milik Pemerintah Kota Batu. Karena diminati, dia mulai menjual ke teman kerja dan teman kuliah. Dari situlah, ayah dua anak ini melihat ada peluang besar terhadap komoditas yang satu ini.

DOKUMEN PRIBADI--Rakhmad Hardiyanto (dua dari kiri) tengah memberi penjelasan kepada tamu asingnya, soal agrobisnis jambu kristal miliknya, beberapa waktu lalu.

“Di Jakarta harganya Rp 38.000 per kilogram (kg) sedangkan di sini banyak dan rasanya lebih enak. Ketika petani menjual seharga Rp 5.000 per kg maka saat itu saya sudah berani menjual dengan Rp 12.500 per kg,” ucapnya.

Setelah penjualan mulai berjalan, Hardi–yang baru enam bulan menikah–memberanikan diri meminta izin kepada mertua untuk mengelola kebun itu. Gayung bersambut, sang mertua mengizinkannya.

Hardi kemudian memilih mundur dari pekerjaannya dan lebih fokus menata kebun. Dia mulai memelajari semua hal, mulai dari product, price, promotion, dan place (4P). Ia juga mulai memetakan pangsa pasar dan siapa konsumen yang bakal disasar.

Perkembangan teknologi tidak disia-siakan. Cara daring dipilih untuk menerobos pasar hingga luar daerah, tidak hanya di Malang dan Surabaya. Saat itu, pengiriman barang ke konsumen masih menggunakan kurir konvensional karena aplikasi pengiriman berbasis android belum muncul.

Usaha Hardi makin menggeliat setelah salah satu majalah pertanian memuat usahanya. Masih di tahun 2012 dia mendirikan UD BumiAji Sejahtera. Keberadaan badan hukum dinilai penting untuk usaha tani berkelanjutan meski sebagian orang menganggap sepele. Produknya pun mulai menembus swalayan di Malang.

“Pendekatan yang saya lakukan bukan sekadar pertanian tetapi agribisnis, enterpreneur di bidang pertanian. Artinya bagaimana aspek profesionalitas kita kedepankan, bagaimana manajerial kita bangun. Tidak sekedar bertani biasa,” ucapnya.

Tahun 2013 pohon induk Hardi mendapatkan sertifikat dari Unit Pelaksana Teknis Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur. Sejak saat itu pula sebutan jambu apel yang tadinya melekat, resmi diganti dengan jambu kristal. Sertifikasi juga diberikan kepada benih turunannya (cangkok) yang dibagikan kepada para petani mitra.

Menurut pria—yang menjadi salah satu dari 28 Agropreneur Muda Indonesia versi Majalah Trubus tahun 2017–sertifikasi berguna untuk menjaga keaslian genetika. Berbicara kualitas buah tidak bisa dipisahkan dari genetika. “Pola penanganan yang lain, seperti perawatan dan pemeliharaan hingga standar operasional prosedur (SOP) memang bisa diubah namun genetika tidak bisa,” katanya.

DEFRI WERDIONO--Rakhmad Hardiyanto di teras rumahnya yang berada di tengah kebun jambu kristal

Menurut lulusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang angkatan 2003 ini salah satu visinya adalah pemberdayaan. Hardi ingin bisa menggandeng masyarakat. Meski dari sisi luas lahan sulit bertambah, Hardi ingin bisa memengaruhi petani lainnya untuk berpikir untuk mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera.

“Bagaimana petani mitra bisa enak. Jambu mereka bisa berbuah dalam umur 1,5 tahun. Petani yang semula berpikir akan panen 1-2 kali setahun, praktiknya bisa panen satu kali seminggu. Artinya jangan menunggu terlalu lama agar asap dapur petani tetap bisa mengepul. Kita juga harus berpikir bagaimana harga buah tidak anjlok saat panen raya. Itu semua ada SOP-nya dan bisa diatur,” tuturnya.

Meski di pasaran saat ini harga jambu kristal bervariasi, ada yang menjual dengan harga lebih murah, Hardi tetap bersikukuh menjual jambu dengan harga Rp 15.000 per kilogram. Alasannya, ada narasi-narasi di balik setiap buah jambu yang ditanam, tata cara bertani, hingga nasib dan keringat petani itu sendiri.

Dalam hal manajemen, Hardi membagi usahanya dalam off farm dan on farm. Ia membagi 17 orang karyawan dalam bidang masing-masing, mulai dari digital marketing, kontrol kualitas, hingga bagian distribusi. Mereka yang masih suka bertani dan bersentuhan langsung dengan lapangan juga diberi kesempatan.

“Kenapa hasil bumi petani sulit masuk ke ritel modern karena mereka tidak punya manajemen. Jadi bukan sekedar memerimbangkan kualitas. Proses-proses seperti itu yang saya lakukan. Esensi pertanian modern tidak hanya mencangkul di lahan tetapi juga mencangkul digital. Petani milenial sasaran dan apa yang dilakukannya jelas,” kata suami dari Reisha Zuhriana ini.

Cara bertani seperti inilah yang membedakan pertanian modern dengan pertanian tradisional. Hardi menyebut sebagai petani milenial dirinya tidak hanya mengadopsi pola pertanian konvensional yang ada selam ini tetapi juga menggabungkannya dengan pola dan cara baru, sejak dari lahan sampai pascapanen.

Karena itu, Hardi ingin ke depan bisa mencetak petani-petani milenial. Setiap bulan ada belasan siswa SMK maupun mahasiswa yang mengikuti PKL di kebunnya, termasuk mereka yang berasal dari luar negeri.

“Meski hanya cita-cita kecil, tapi kami ingin merealisasi itu. Petani milenial hanya istilah saja, namun yang perlu dipahami dari pertanian modern adalah bagaimana membentuk tata kelola semua proses menjadi bernilai dan menarik,” pungkasnya.

Rakhmad Hardiyanto

Lahir: Malang 29 September 1984

Istri: Reisha Zuhriana

Anak:
– Aqila Anindya Tasya
– Arsyila Amelia Rasya

Pendidikan:
SMAN 01 Batu
Teknik Mesin Universitas Brawijaya
Penghargaan: Salah satu dari 28 agropreneur muda Indonesia Majalah Trubus (2017)

DEFRI WERDIONO

Sumber: Kompas, 16 Februari 2019

No comments:

Post a Comment