Tuesday, June 9, 2020

Andhika Mahardika, Mengejar Nilai Tambah Rempah

KOMPAS/HARIS FIRDAUS---Andhika Mahardika dengan spesimen rempah-rempah

Lewat rempah-rempah, Andhika Mahardika memberdayakan sekitar 300 petani di beberapa daerah.

Andhika Mahardika (31) tidak terpesona dengan kemegahan kota besar. Ia memilih tinggal dan mengabdi di desa. Bersama istri dan sejumlah temannya, ia merintis program pemberdayaan petani rempah untuk menciptakan kesejahteraan bersama.

Andhika merupakan pendiri Agradaya, sebuah lembaga yang fokus memberdayakan petani. Lembaga yang dirintis sejak 2014 itu bermarkas di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Sebelum merintis Agradaya, Andhika sudah memiliki karier yang menjanjikan di sebuah perusahaan besar di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Ia mendapat gaji lumayan tinggi yang bisa menunjang kehidupan yang cukup nyaman.

Alih-alih bahagia menjalani kariernya, ia justru gelisah. Ia merasa kariernya hanya memberi dampak positif kepada dirinya, tetapi tidak bagi masyarakat luas. Perasaan itu makin besar setelah ia berinteraksi dengan sejumlah temannya yang terlibat aktivitas pemberdayaan masyarakat.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA----kegiatan pengolahan dan pemilahan rempah-rempah di kediaman Andhika Mahardika

”Waktu itu saya bertemu dengan teman-teman yang bekerja di sektor sosial. Saat itulah saya merasa harusnya saya memiliki pekerjaan yang bisa memberi dampak positif, bukan hanya pada diri saya sendiri,” ungkap lulusan Teknik Mesin, Universitas Diponegoro, itu, Kamis (21/5/2020).

Kegelisahan tersebut mendorong Andhika keluar dari pekerjaannya. Ia kemudian mendaftar menjadi peserta program Indonesia Mengajar yang mengirim anak-anak muda untuk menjadi guru di wilayah terpencil. Saat itu, Andhika dikirim mengajar di Kabupaten Aceh Utara.

Pengalaman mengajar di Aceh Utara kian menyadarkan Andhika betapa banyak persoalan yang dihadapi masyarakat. ”Pikiran saya makin terbuka mengenai kondisi Indonesia secara umum, termasuk ketimpangan yang terjadi di kota dan desa,” ujarnya.

Pindah ke desa
Seusai menjalankan tugas mengajar di Aceh Utara, Andhika rutin berkomunikasi dengan beberapa alumni Indonesia Mengajar yang juga memiliki niatan untuk menjalankan aktivitas sosial dan pemberdayaan masyarakat. Salah seorang alumni Indonesia Mengajar yang kerap ia ajak komunikasi adalah Asri Saraswati (31).

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Tempat penyimpanan rempah-rempah

Andhika dan Asri ternyata berjodoh dan menikah. Selanjutnya, pasangan suami istri itu merintis Agradaya bersama beberapa teman mereka. Andhika dan Asri memutuskan pindah ke Desa Sendangrejo untuk memulai gerakan pemberdayaan masyarakat.

Di Sendangrejo, Andhika dan teman-temannya memanfaatkan rumah milik orangtua Asri yang sudah lama tak ditinggali sebagai pusat aktivitas. Meskipun markasnya ada di DIY, kiprah Agradaya tak terbatas hanya di provinsi itu. Saat ini, Agradaya telah bermitra dengan petani rempah dari sejumlah kabupaten/kota, misalnya Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul di DIY serta Kabupaten Trenggalek di Jawa Timur.

Total petani yang bermitra dengan Agradaya sekitar 300 orang. Adapun luas lahan yang dikelola para petani tersebut sekitar 50 hektar. Jenis rempah-rempah yang ditanam para petani bermacam-macam, seperti temulawak, jahe, cengkeh, kunyit, secang, dan kapulaga.

Agradaya, kata Andhika, mengawali program pemberdayaannya di kawasan perbukitan Menoreh, Kulon Progo, pada pertengahan 2016. Para petani di sejumlah desa di perbukitan Menoreh sebenarnya sudah lama menanam rempah-rempah. Namun, hasilnya kebanyakan dijual kepada tengkulak dengan harga murah. Padahal, jika diolah dengan baik, rempah-rempah bisa dijual dengan harga cukup tinggi. Apalagi, pasar rempah-rempah terbuka dan dibutuhkan untuk beragam keperluan.

”Rempah-rempah itu kan dibutuhkan untuk banyak hal, misalnya untuk bahan baku obat, makanan, jamu, dan bumbu,” kata Andhika.

Kondisi itulah yang mendorong Andhika dan kawan-kawannya terjun membantu para petani rempah-rempah di perbukitan Menoreh. Salah satu yang dilakukan Agradaya adalah mengajak para petani mengeringkan rempah-rempah hasil panen. Supaya hasilnya maksimal dan mangkus, proses pengeringan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan solar dryer house, semacam ruang pengering yang dilengkapi peralatan tertentu.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA----

Rempah-rempah yang sudah dikeringkan bisa dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan rempah-rempah basah. Harga kunyit basah, misalnya, hanya Rp 2.000 per kilogram (kg). Setelah dikeringkan, harganya bisa mencapai Rp 60.000 per kg. Untuk menghasilkan 1 kg kunyit kering itu dibutuhkan 5-8 kg kunyit basah. Harga jahe basah berkisar Rp 25.000 hingga Rp 30.000 per kg. Setelah dikeringkan, harganya melonjak menjadi Rp 365.000 per kg. Satu kilogram jahe kering dihasilkan dari 5-8 kg jahe basah.

”Tetapi ini harga sebelum Covid-19, ya. Setelah itu, harga rempah-rempah sangat fluktuatif,” ujarnya.

Andhika menjelaskan, setiap bulan, para petani mitra Agradaya bisa menghasilkan sekitar 1,5 ton rempah-rempah kering. Rempah-rempah itu dibeli oleh Agradaya dan sebagian di antaranya diolah menjadi produk minuman, baik dalam bentuk cair maupun serbuk. Seluruh proses pengolahan itu dilakukan di markas Agradaya di Desa Sendangrejo.

”Merespons adanya pandemi Covid-19, kami juga membuat produk jamu yang diolah dari rempah-rempah,” katanya. Produk-produk olahan rempah itu kemudian dipasarkan secara daring dan luring. Agradaya juga menjual sebagian rempah-rempah kering ke beberapa perusahaan minuman dan obat.

Andhika menuturkan, ke depan, Agradaya ingin memperluas aktivitas pemberdayaannya ke wilayah lain. ”Kami berharap melakukan inisiatif serupa di luar Jawa, terutama di Indonesia timur,” tutur peraih penghargaan Pengusaha Selaras Alam 2018 dari WWF Indonesia dan Komunitas Organik Indonesia.

Andhika Mahardika

Lahir: Pemalang, Jawa Tengah, 13 Desember 1988

Istri: Nurrahma Asri Saraswati (31)

Anak: Nirwana Bagas Mahardika (3 tahun)

Pendidikan terakhir: Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah

Oleh   HARIS FIRDAUS

Editor   BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 9 Juni 2020

No comments:

Post a Comment