KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas Puarman di Bekasi, Senin (28/1/2019).
Pengalaman menjadi korban banjir tanpa bisa menyelamatkan diri mendorong Puarman (50) untuk mengabdi pada upaya mitigasi bencana. Selama 12 tahun terakhir, ia membangun gerakan sosial untuk memberikan informasi pergerakan air kepada warga di wilayah terdampak banjir luapan sungai Cileungsi dan Cikeas. Berbekal informasi yang akurat, warga bisa waspada setidaknya empat jam sebelum banjir datang.
Tanpa ada hujan deras dan pemberitahuan, tiba-tiba saja air setinggi 50 sentimeter (cm) memenuhi jalan di Vila Nusa Indah 2, Bojong Kulur, Gunung Putri, Kabupaten Bogor, pada akhir 2005. Air mengalir ke rumah warga, tidak terkecuali rumah Puarman. Warga yang baru saja pindah dari Pondok Kelapa, Jakarta Timur, itu kaget saat air setinggi 70 cm ikut masuk memenuhi rumahnya.
“Saat itu saya tidak bisa menyelamatkan barang-barang selain surat-surat berharga,” tutur Puarman saat ditemui di Bekasi, Senin (28/1/2019). Masalah tidak tuntas saat air surut. Sisa banjir mengendapkan lumpur di seluruh penjuru rumah. Harapan untuk hidup nyaman di rumah baru pun mulai hancur.
Meski demikian, ia tak menyerah. Puarman menyelidiki mengapa banjir datang meski tidak ada hujan deras. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa kompleks perumahan yang diapit sungai Cileungsi dan Cikeas itu banjir karena luapan sungai. Artinya, ia harus mengetahui tinggi muka air sejak dari hulu.
Berbekal petunjuk dari aplikasi peta dalam jaringan, Puarman menelusuri sungai hingga sampai di Jembatan Wika, Cileungsi, Kabupaten Bogor. Di sana, terdapat pos pantau tinggi muka air, tetapi informasinya tidak diberitahukan kepada warga. Warga yang ingin mengetahuinya harus datang ke kantor Badan Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi dan Cikeas Puarman di Bekasi, Senin (28/1/2019).
Untuk mendapatkan informasi tinggi muka air sungai, ia pun bersiasat. Puarman membangun hubungan baik dengan penjaga pos pantau. “Saya membelikan pulsa setiap bulan untuk penjaga pos pantau agar diberikan informasi terbaru,” ujarnya sambil tertawa.
Pola yang sama ia terapkan saat mencari hulu sungai Cikeas. Hubungan baik dijalin dengan penjaga pos pantau hulu sungai di Nagrak, Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Mulai 2006, informasi lengkap yang ia dapatkan kemudian didistribusikan melalui pesan singkat di telepon seluler kepada tetangga satu kompleks. Informasi mulai meluas ketika masyarakat mengenal mailing list dan blackberry messenger. Penerima informasi tinggi muka air di hulu dua sungai itu mencapai 1.000 orang.
Waktu berjalan, secara organik Puarman menjadi pusat informasi potensi banjir bagi warga kompleks. Apalagi ketika ia didaulat menjadi anggota Tim Penanggulangan
Bencana Desa Bojong Kulur, semakin banyak warga yang menghubunginya selama 24 jam. Ia pun memberikan semua informasi di tengah kesibukannya sebagai pengusaha pakaian, tanpa bantuan orang lain baik secara finansial maupun tenaga.
Bahkan, pada 2010, ketika ia sudah pindah rumah ke Perumahan Bumi Mutiara, Bojong Kulur, yang aman dari banjir, penyebaran informasi tetap ia lakukan. “Hati saya tergerak untuk membantu warga yang terancam banjir, karena saya pernah merasakan pedihnya menjadi korban,” ujar Puarman.
Mempelajari sungai
Berawal dari penyintas bencana, Puarman justru jatuh cinta pada sungai. Sambil terus mengabarkan tinggi muka air, ia pun mempelajari karakter sungai. Mulai dari membaca literatur, hingga bergaul dengan ahli sungai, salah satunya di Gerakan Restorasi Sungai Indonesia.
Dari pembelajaran itu, ia memahami bahwa aliran sungai Cileungsi lurus dan terjal. Kecepatan air dari hulu sampai ke wilayah tempat tinggalnya sekitar empat jam.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi-Cikeas (KP2C) Puarman
Sementara itu, aliran kali Cikeas berkelok-kelok, sehingga waktu tempuhnya menuju Bojong Kulur mencapi enam jam. Luas daerah aliran sungai (DAS) Cileungsi yang mencapai 26.500 hektare (ha) lebih berisiko menimbulkan banjir ketimbang DAS Cikeas yang luasnya sekitar 11.000 ha.
“Saya juga jadi tahu bahwa kedua sungai itu tidak berada dalam satu aliran dengan Bendung Katulampa,” kata dia. Hal itu penting karena warga di sekitarnya selalu panik jika mendengar kabar air naik di Bendung Katulampa.
Ia mengidentifikasi tingkat kesiagaan berdasarkan tinggi muka air. Contohnya, siaga 3 ketika air sudah setinggi 1 meter di bawah permukaan jalan. Siaga 2 ketika tinggi air setara dengan jalan, dan siaga 1 saat air sudah mulai masuk ke rumah.
Selain itu, Puarman juga mengarsipkan catatan banjir dari tahun ke tahun. Dalam arsip itu, tertera tinggi air di lokasi banjir dilengkapi dengan tinggi air di hulu. “Catatan itu bisa digunakan untuk menganalisis karakteristik dan potensi banjir di masa mendatang,” tuturnya.
Saking cintanya pada sungai, dinding ruang kerjanya di rumah tidak dihiasi foto atau hiasan lain. Di sana terpajang berbagai peta sungai dan catatan banjir.
DOKUMENTASI PRIBADI--Suasana ruang kerja Ketua Komunitas Peduli Cileungsi-Cikeas Puarman.
Gerakan sosial
Distribusi informasi dan pembelajaran mengenai sungai dijalani Puarman seorang diri selama 10 tahun. Peran tunggalnya menyebabkan penyebaran informasi tidak dilakukan secara sistematis dan rutin. Masyarakat yang mendapatkan informasi pun sebatas Desa Bojong Kulur. Padahal, luapan sungai Cileungsi dan Cikeas juga berdampak pada wilayah Kota Bekasi.
Kedua aliran sungai itu menyatu menjadi hulu Kali Bekasi. Pertemuan kedua sungai itu berada di tengah perumahan Vila Nusa Indah dan Pondok Gede Permai. Di sekitarnya, masih ada 14 kompleks perumahan lain yang berada di Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi.
FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS--Pertemuan antara sungai Cileungsi dan Cikeas membentuk aliran baru bernama kali Bekasi.
Seluruhnya berada di tepi sungai dan terancam banjir yang tidak main-main.
Dalam setahun, warga mengalami tiga sampai empat kali banjir. Tinggi air pun mencapi empat meter.
Pada 2016, Puarman beserta empat rekannya, yaitu Anton Sukarton (alm), Ganjar Purwanto (alm), Tomo, dan Verry Surya Hendrawan, sepakat untuk membentuk Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas (KP2C). Diharapkan, dengan organisasi, ada pembagian kerja sehingga informasi bisa menyebar secara rutin kepada cakupan masyarakat yang lebih luas.
Sejak ada komunitas, seluruh aktivitas terorganisasi. Format informasi dibakukan, mencakup tinggi muka air di Cileungsi, Cikeas, dan Kali Bekasi. Penjelasan status kewaspadaan, sumber informasi, dan narahubung juga disertakan. Jadwalnya, dalam sehari informasi diberikan dua kali. Namun pada kondisi siaga, informasi diberikan setiap 30 menit bahkan 15 menit sekali. Seluruh anggota akan dibentuk ke dalam beberapa kelompok piket untuk mengabarkan perkembangan terkini selama 24 jam.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU--Diskusi Hidup Aman dan Nyaman bersama Sungai di Bekasi, Sabtu (13/10/2018). Hadir sebagai pembicara, Ketua KP2C Puarman, Kepala BBWS Ciliwung Cisadane Bambang Hidayah, Direktur Kesiapsiagaan/Perbaikan Darurat BPNB Medi Herlianto.
Aturan main baik di komunitas maupun dalam ruang penyebaran informasi pun jelas. Mereka hanya berurusan terkait sungai, tidak boleh ada yang lain, termasuk politik praktis. “Dalam kepengurusan pun begitu, Pak Verry secara sukarela mengundurkan diri karena menjadi sekretaris jenderal sebuah partai politik,” kata Puarman.
Independensi itu menarik kepercayaan banyak orang. Hingga saat ini, anggota KP2C mencapai 6.300 orang, seluruhnya adalah warga terdampak banjir. Mereka terhubung dalam 26 grup pesan singkat Whatsapp dan Telegram.
Berkat komunitas pula, aktivitas mereka membuka lapangan kerja. KP2C merekrut empat petugas pemantau tinggi muka air di Cileungsi, Cikeas, dan Kali Bekasi. Untuk mendapatkan informasi lebih awal lagi, satu petugas juga ditempatkan di Cibongas, Kabupaten Bogor, yang posisinya lebih atas dari Cileungsi. “Mereka digaji dari donasi anggota,” kata Puarman.
Selain merekrut petugas pantau, KP2C juga memasang kamera pemantau (CCTV) di empat lokasi pemantauan itu. Dengan CCTV, pemantauan tinggi muka air bisa dilakukan secara langsung. Biaya operasionalnya pun ditanggung bersama sesama anggota. Meski demikian, kata Puarman, donasi anggota dilarang digunakan untuk membiayai kegiatan pengurus.
Anggota tidak hanya mendapatkan informasi tetapi juga edukasi sungai. Menurut Puarman, pengetahuan tentang karakteristik sungai diberikan melalui diskusi. Mereka juga kerap menyusuri sungai bersama.
Dengan itu semua, masyarakat di sekitar sungai tidak kalap saat banjir akan tiba. Sebab, mereka sudah mendapatkan informasi akurat empat jam sebelum banjir menerjang. Mereka juga bisa memilah informasi yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungannya. “Aktivitas KP2C bermanfaat memberikan rasa tenang pada ribuan orang yang terdampak banjir,” ujar Puarman.
Kini, hasil kerja bersama KP2C juga menjadi rujukan beberapa instansi di Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi, di antaranya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Lingkungan Hidup, dan Taruna Siaga Bencana. Ke depan, KP2C ingin menaikkan level pengabdiannya tidak sekadar mengurangi dampak, tetapi juga mencegah terjadinya bencana.
Oleh KURNIA YUNITA RAHAYU
Sumber: Kompas, 1 Februari 2019
No comments:
Post a Comment