Tuesday, January 29, 2019

Ashadi Gigih Serukan Waspada Bencana

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Ashadi

Tsunami yang menerjang pesisir selatan Jawa pada 17 Juli 2006 meluluhlantakan kawasan Pangandaran di Jawa Barat, Cilacap di Jawa Tengah, hingga sekitar Yogyakarta. Banyak yang terluka dan puluhan orang tewas. Pengalaman itu membuka mata warga akan dahsyatnya bencana serta mendorong Ashadi (45) pemuda desa Desa Widarapayung Wetan, Cilacap, Jawa Tengah untuk gigih menyerukan waspada bencana sedini mungkin.

“Setelah tsunami itu, semua orang mengungsi dan hanya ada tentara. Sementara jenazah korban tsunami dikumpulkan di aula balai desa. Saya dan Pak Carik (sekretaris desa) memberanikan diri menunggu jenazah para korban yang apa adanya,” kata Ashadi saat ditemui di rumahnya di Desa Widarapayung Wetan, Cilacap, Jumat (25/1/2019) lalu.

Ashadi ingat betul tsunami yang menerjang hingga 300 meter ke daratan itu terjadi pada Senin Kliwon pukul 16.15 WIB. Saat kejadian, Ashadi memang tidak berada di pantai. Namun, dari kisah para korban selamat di desanya termasuk Mashuri pamannya, air laut sempat surut cukup jauh.


“Kemudian dari arah barat atau sekitar Pangandaran ada semacam buih berjalan di tengah laut. Buihnya seperti buih di belakang kapal cepat. Masyarakat tidak tahu apa itu tsunami dan justru menontonnya. Dikiranya angin, tapi ternyata gelombang naik sekitar 5-7 meter berwarna hitam,” paparnya.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Sosok Ashadi

Para korban tewas saat itu, kebanyakan adalah nelayan, wisatawan, dan juga warga yang sedang mencari kerang-kerang kecil untuk pakan bebek. “Banyak korban tewas tergulung masuk ke dalam Sungai Lancang yang berada sekitar 300 meter dari bibir pantai,” tuturnya.

Berbagai bangunan habis rata dengan tanah diterjang gelombang tsunami. Gasebo, warung-warung, dan kolam renang wisata pantai juga hancur. Dari data yang ada di Desa Widarapayung Wetan, selain 71 orang tewas, tsunami juga menyababkan 66 orang terluka, 36 orang kehilangan tempat usaha, 36 orang kehilangan jaring, 8 unit rumah rusak, dan sungai menjadi menyempit dari lebar 50 meter menjadi 20 meter. Kerugian material diperkirakan mencapai Rp 650 juta.

Sibat
Sejak kejadian itu, pada 2007-2008, Ashadi pun kemudian ditunjuk mewakili desanya untuk mengikuti berbagai pelatihan mitigasi bencana baik oleh Universitas Gadjah Mada maupun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pendampingan oleh PMI Cilacap. Berbekal pelatihan dan pengetahuan tersebut, Ashadi kemudian membentuk kelompok relawan bernama Sibat, singkatan dari Siaga Bencana Berbasis Masyarakat. “Ada 20 relawan yang tergabung di Sibat. Mereka perwakilan dari dusun atau grumbul di desa ini,” tutur suami Wati Isrofah (39).

Sejak didirikan pada 2009, kelompok relawan ini gigih memberikan sosialisasi terkait aneka bencana dan mitigasinya termasuk bencana alam tsunami. Ada 3 sekolah dasar, 3 madrasah ibtidaiyah, dan 1 pendidikan anak usia dini di desa itu yang diberi pengenalan serta mitigasi bencana. Selain itu, sosialisasi di berbagai pertemuan mulai tingkat RT, RW, dusun, hingga kesempatan setelah ibadah juga dilakukan oleh Ashadi dan teman-temannya. Misalnya saat bulan Ramadhan, Ashadi memberikan sosialisasi kepada jemaah seusai shalat tarawih.

“Kami berusaha memberikan kesadaran terhadap bahaya bencana, menyiapakan masyarakat untuk tetap waspada dan siaga terhadap bencana untuk meminimalkan risiko,” tuturnya.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Sosok Ashadi

Salah satu program unggulan yang diterapkan Ashadi dan rekan-rekan relawannya dalam mitigasi bencana adalah dengan mendorong warga menyiapkan kentongan di rumah-rumah. “Ada kearifan lokal yaitu membunyikan kentongan saat ada bencana. Minimal satu rumah ada satu kentongan,” tutur Ashadi meski saat ini sudah ada 1 unit sirene alat peringatan dini tsunami di desanya.

Ashadi senantiasa mengingatkan warga untuk menyimpan dan menyiapkan dokumen penting keluarga di lokasi yang mudah dijangkau anggota keluarga. Jika sewaktu-waktu ada bencana dan harus mengungsi, segala surat berharga dan dokumen dapat segera dibawa.

“Kami juga mengimbau warga untuk mengikat lemari atau bufet pada dinding. Jika ada gempa, paling tidak hal itu bisa mengurangi potensi ambruk menimpa anggota keluarga,” ujar Ashadi yang juga aktif di desa baik di bidang pariwisata, pertanian, serta karang taruna.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Sosok Ashadi

Dari sisi kelengkapan sarana penunjuk arah atau jalur evakuasi, kelompok SIBAT ini yang kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari Desa Tangguh Bencana, juga secara gotong-royong membuat dan memasangnya. Bantuan dari pemerintah kabupaten hanya berupa plang tanpa gambar dan tulisan. Di bawah koordinasi Ashadi, para relawan membeli cat dan mulai menggambar aneka rambu mulai dari arah evakuasi hingga titik kumpul jika terjadi bencana.

“Masyarakat harus lebih siap dan lebih tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana,” katanya.

Jenis bencana yang disampaikan oleh Ashadi dan rekan-rekan relawannya tidak melulu tsunami dan gempa bumi, tetapi juga kebakaran, kekeringan, banjir, serta potensi kecelakaan lalu-lintas. “Pesan orangtua bagi anaknya yang setiap pagi hendak berangkat sekolah untuk berhati-hati bisa menanamkan kesadaran dan kewaspadaan sejak dini,” ujarnya.

Satu dekade lebih paska bencana tsunami melanda wilayah Pantai Widarapayung, setidaknya kelompok relawan Sibat bersama warga telah berupaya menanami pantai dengan tanaman keras. Ada sekitar 2.000 pohon kelapa dan cemara laut yang ditanam untuk mengurasi risiko terjangan langsung gelombang tsunami di lahan seluas 15 hektar atau bibir pantai sepanjang 1,3 kilometer.

KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO--Kondisi Tugu Tsunami di Pantai Widarapayung, Cilacap tidak terawat, Jumat (25/1/2019). Gempa dan tsunami yang melanda wilayah ini pada 17 Juli 2006 menyebabkan 71 orang tewas.

Upaya untuk menggelorakan semangat kesiapsiagaan di tengah masyarakat yang dilakukan Ashadi bersama relawan tidak selalu lancar dan mudah. Selain masalah pendanaan serta jatuh bangun merangkul para kader untuk setia, Ashadi juga kerap menjumpai warga yang enggan bersiaga lebih karena memiliki paradigma bahwa hidup mereka termasuk takdir dalam bencana sudah diatur oleh Yang Mahakuasa.

“Sering kali warga bersikap pasrah dan apa yang disampaikan terkait mitigasi bencana hanya masuk kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri,” ujar Ashadi.

Warga setempat, lanjut Ashadi, meski dengan nada bercanda, mengenal dan menganggap Ashadi sebagai “pembawa bencana”. Ada Ashadai, ada bencana. Maksudnya informasi terkait bencana. Selain itu, dukungan pemerintah juga masih perlu ditingkatkan terlebih perbaikan akses jalan-jalan yang mengarah ke utara atau ke tempat evakuasi agar warga tidak tumpuk serta macet di jalur utama saat evakuasi.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Cilacap Tri Komara menyampaikan, Ashadi merupakan sosok warga dan pemuda yang totalitas dalam hal menggugah kesadaran masyarakat terhadap bahaya bencana. “Ashadi adalah orang yang all out,” kata Tri.

Oleh karena itu, dalam hal mitigasi, pemerintah daerah juga memerlukan sinergi dengan masyarakat terutama di 26 desa tangguh bencana baik di pesisir pantai yang rawan tsunami, bagian barat yang rawan longsor maupun, timur yang rawan banjir.

Ashadi
Lahir  : Cilacap, 2 Mei 1973

Pendidikan:
SMPN 1 Binangun, Cilacap
SMAN 1 Kroya, Cilacap
S1 Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

Istri: Wati Isrofah (39)

Anak:
Linda (19)
Zaza (14)
Alika (1)

Kegiatan: Ketua Desa Tangguh Bencana Widarapayung Wetan

MEGANDIKA WICAKSONO

Sumber: Kompas, 30 Januari 2019

No comments:

Post a Comment