Tuesday, March 19, 2019

Junaidi Peraih Kalpataru yang Tidak Mengenal Waktu

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI--Junaidi

Dua pertiga usia Junaidi, ia habiskan sebagai penyuluh kehutanan di Riau. Atas pengabdiannya mencintai lingkungan hidup selama 38 tahun, ia diberi penghargaan oleh negara, berupa Piala Kalpataru, pada tahun 2018. Setelah pensiun pada usia ke-58 Januari 2019, Junaidi tidak berhenti: menyuluh dari hutan ke hutan, tidak dapat dipisahkan dari hidupnya.

“Sepertinya saya belum dapat pensiun sebagai penyuluh. Warga di lokasi saya pernah berkerja, tidak ingin saya pensiun mendampingi mereka,” kata Junaidi dalam perbincangan di Pekanbaru, Senin (11/3/2019).

Junaidi mengawali karier menjadi penyuluh kehutanan, di Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau pada tahun 1981, setelah lulus Sekolah Menengah Teknologi Pertanian (SMTP) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Waktu itu jalan dari Pekanbaru menuju ibukota kecamatan di Lipat Kain, harus menyeberangi dua sungai besar yang belum ada jembatannya.


Area kerjanya memang satu kecamatan, namun luasnya hampir mencapai 400 ribu hektar. Kini Kecamatan Kampar Kiri sudah dimekarkan menjadi lima kecamatan. Salah satu hutan di area kerjanya, ditetapkan oleh pemerintah sebagai Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Baling pada tahun 1986. Suaka seluas 136.000 hektar itu merupakan salah satu hutan terbaik yang dimiliki Riau hingga saat ini.

Meski namanya hutan, kawasan Rimbang Baling dihuni ribuan manusia yang sudah bermukim selama ratusan tahun. Di jalur Sungai Subayang dan Sungai Bio, yang membelah SM Bukit Rimbang Baling, terdapat 14 desa yang dihuni manusia. Masing-masing desa memiliki aturan adat yang dipimpin oleh tetua adat (ninik mamak).

Lokasi penugasan kedua bapak tiga putri ini adalah Kecamatan Koto Kampar, perbatasan wilayah Kabupaten Kampar dengan Sumatera Barat di jalur lintas barat Sumatera pada awal 1990-an. Waktu itu, ribuan warga di sana sedang demam komoditas gambir (Uncaria gambir). Harga gambir saat itu mencapai Rp 40.000 per kilogram.

Untuk menanam gambir, warga membuka ribuan hektar areal hutan. Pepohonan ditebang dan dibakar untuk membuka kebun. Saking luasnya areal pertanaman, seorang pengusaha membangun pabrik gambir di Desa Batu Besurat untuk menampung produksi petani.

Meski gambir merusak hutan, Junaidi tidak langsung melarang. Ia mendekati ninik mamak dan tokoh masyarakat setempat terlebih dahulu. Berkat pendekatan yang baik, warga menerima kehadirannya. Ninik mamak bahkan memberi Junaidi lahan 3 hektar untuk dikelola.

Ninik mamak meminta Junaidi bertanam gambir. Ia menuruti permintaan tersebut, namun Junaidi menanam bibit karet di sela-sela tanaman gambir. Pelan-pelan, ia mengajak warga melakukan hal sama.

Ketika warga bertanya, Junaidi memberi alasan bahwa tidak selamanya harga gambir bagus. Ia meyakinkan, apabila suatu saat harga gambir anjlok, petani sudah memiliki karet sebagai penopang kehidupan. Selain itu, karet mampu menggantikan hilangnya vegetasi hutan akibat penebangan. Apalagi, Koto Kampar merupakan daerah tangkapan air utama untuk menyokong Waduk PLTA Koto Panjang yang beroperasi tahun 1997.

Untuk menyediakan bibit karet, Junaidi meminta bantuan ke Dinas Kehutanan Riau (pada tahun 1993, Penyuluh Kehutanan yang semula di bawah Kementerian Kehutanan berpindah status di bawah Dinas Kehutanan Provinsi) dan beberapa instansi. Ia juga melakukan pembibitan sendiri. Bibit yang siap tanam, disebar secara gratis kepada warga.

Setelah lima tahun berlalu, harga gambir anjlok. Pabrik tutup. Warga yang sudah menanam karet sangat bersyukur. Panen karet mampu menggantikan gambir. Warga sangat berterima kasih kepada Junaidi. Sampai saat ini, karet masih tumbuh di sebagian besar wilayah di Kecamatan Koto Kampar yang telah dimekarkan menjadi dua kecamatan.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI (SAH)--Junaidi

Pindah lokasi
Setelah sukses di Koto Kampar, Junaidi berpindah lokasi kerja ke Kabupaten Rokan Hulu, Kuantan Singingi dan Siak. Namun ia selalu meluangkan waktu melihat perkembangan di lokasi kerja lamanya. Komunikasinya dengan tokoh masyarakat di tempatnya pernah berkiprah, tidak pernah putus.

Di luar tugas penyuluhan, Junaidi membentuk Kelompok Tani Hutan yang mengajak masyarakat melestarikan hutan namun dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi. Saat ini, kelompok binaannya sudah lebih dari 300.

Junaidi juga mencari kader-kader Penyuluh Kehutanan Swadaya Mandiri di beberapa daerah. Kader ini menyuluh warga melestarikan hutan dan bekerja sukarela tanpa upah.

Ia pun kerap mendampingi desa-desa di pinggir hutan untuk membentuk Kelompok Desa Peduli Hutan. Kelompok ini banyak membantu aparatur desa membuat aturan tentang perlindungan hutan.

Lokasi pekerjaan yang berjauhan dan medan berat adalah faktor kesulitan utama Junaidi bekerja. Biaya operasional cukup besar, sementara dana dinas tidak tersedia. Namun ia tidak segan merogoh kocek sendiri. Tidak jarang ia meninggalkan mobil tuanya di tengah jalan di hutan karena mesin rusak, as roda copot, atau kehabisan bahan bakar.

KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI--Junaidi

Ia lebih sering mengendarai sepeda motor sejauh puluhan kilometer melintasi kebun kelapa sawit dan rerimbunan hutan untuk mencapai lokasi kerja. Kadangkala ia terpaksa mendorong sepeda motor di tengah hutan karena ban bocor. Sering kali pula Junaidi membongkar gudang di rumahnya untuk mencari barang bekas yang dapat dijual untuk membeli bensin, agar dapat mengunjungi kelompok tani hutan atau kader binaannya.

Kerja kerasnya ternyata diperhatikan. Tahun 2015, ia mendapat penghargaan sebagai penyuluh terbaik tingkat nasional. Bukan itu saja, lebih dari 10 kelompok tani hutan binaannya, menang dalam lomba di tingkat provinsi dan nasional. Kadernya dari penyuluh kehutanan swadaya mandiri juga kerap mendapat penghargaan di tingkat provinsi dan nasional. Pada 2018, di pengujung karir dinasnya, Junaidi menerima Kalpataru.

Meski meraih Kalpataru, Junaidi kadangkala merasa upaya kerasnya tidak terlalu didukung instansinya. Bahkan ada rekannya mencibir dan menyebut ia gila dan kurang kerjaan. Yang membuatnya miris, saat menerima Kalpataru di Manado, Sulawesi Utara pada Agustus 2018, Dinas Kehutanan Riau, justru tidak membantu dana keberangkatannya. Untungnya beberapa kenalan bersedia membelikannya tiket.

Semua kesulitan tidak membuatnya mundur. Bahkan setelah pensiun dari kedinasan, Junaidi masih berkiprah seperti sebelumnya. Saat ini ia sedang mendampingi masyarakat di kawasan Bukit Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu, untuk mendapatkan hak mengelola hutan sebagai bagian dari hutan adat. Ia membiarkan hidupnya mengalir, sampai tubuhnya tidak lagi mampu menyokong aktivitas fisiknya di usia senja.

Biografi :
Nama : Junaidi

Tempat Tanggal Lahir : Bonjol, 10 Januari 1961

Sekolah:
– SD Bonjol Tamat 1974
– ST Bonjol 1977
-SMTP Bukittinggi 1981

Anak :
1. Dian Julianda Sari
2. Putri Melinia Sahara
3. Salsabila

SYAHNAN RANGKUTI 

Sumber: Kompas, 20 Maret 2019

No comments:

Post a Comment