Thursday, June 20, 2019

Apriyadi Kusbiantoro, Komikus Indonesia yang Karyanya Berkelana di Eropa

KOMPAS/BUDI SUWARNA--Apriyadi Kusbiantoro

Sejak tujuh tahun lalu, komikus Apriyadi Kusbiantoro berhasil menembus industri komik Eropa. Ia juga komikus Indonesia di pasar Eropa yang memegang hak atas penerbitan karya-karyanya. Kemewahan ini sangat jarang dimiliki oleh komikus Tanah Air yang bekerja untuk industri komik luar negeri.

Komik karya Apriyadi, yakni Adjisaka dan Saul secara rutin dimuat di majalah khusus komik Stripglossy yang diterbitkan penerbit arus utama Belanda, Uitgeverij Personalia. Saul kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di Belanda pada 2018 dan mendapat sambutan yang bagus dari publik Belanda serta Belgia sehingga akan terbit edisi keduanya.


“Sekarang saya sedang bikin deal untuk menerbitkan Saul di Jerman,” ujar Apriyadi yang berkolaborasi dengan seniman Belanda, Willem Ritstier.

KOMPAS/BUDI SUWARNA--Buku komik Lemuria karya Apriyadi Kusbiantoro yang terbit di Belanda dan Jerman.

Sampai sekarang, ia masih rutin membuat komik Adjisaka dan Saul untuk Stripglossy. Ia mengerjakan hampir semua pesanan komik baik dari penerbit majalah, penerbit buku, atau kolektor di rumahnya yang bersahaja di Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, akhir Mei 2019. Ketika ditemui di ujung Ramadhan, Mei 2019, di ruang kerjanya, ada beberapa lembar komik Soul yang belum selesai ia kerjakan.

Sebelum meluncurkan Adjisaka dan Saul, Apriyadi berkolaborasi dengan seniman Belanda membuat komik komik Lemuria De Bergen Van Moran sebanyak dua edisi. Edisi pertama untuk pasar Belanda dan Belgia diterbitkan penerbit arus utama Dark Dragon Books dan edisi kedua Don Lawrence Collection. Untuk pasar Jerman diterbitkan Splitter Verlag.

“Sebenarnya Lemuria akan diterbitkan edisi ketiganya, tapi ketidakcocokan dengan mitra kolaborasi sehingga proyek saya hentikan,” ujar Apriyadi.

Sepengetahuannya, sampai saat ini ia menjadi komikus Indonesia satu-satunya yang menerbitkan buku komik dengan namanya sendiri di Eropa. “Dulu ada komikus Indonesia yang ghost artist (komikus yang menerbitkan komik tanpa menyantumkan nama pada karya yang dibuatnya) di Belanda. Tapi sekarang tidak ada lagi,” ujarnya.

-
-Buku komik Saul karya Apriyadi Kusbiantoro yang terbit di Belanda.

Tidak hanya menerbitkan karya, ia juga memegang hak atas karya asli (original artwork) dan hak penerbitkan karya-karyanya. Dengan demikian, ia punya hak untuk memilih penerbit. Ini kemewahan yang jarang dimiliki oleh komikus Tanah Air yang bekerja untuk industri komik luar negeri. Kebanyakan komikus Indonesia menjual putus karyanya sehingga hak penerbitannya dipegang penerbit. “Inilah salah satu alasan mengapa saya memilih berkecimpung di industri komik Eropa,” tambahnya.

Menurut Apriyadi, industri komik Eropa lebih fair mesti tidak menghasilkan uang berlimpah. “Kalau mau cepat terkenal dan mendapat uang banyak, pilihannya adalah industri komik Amerika, tapi hak penerbitan hampir pasti akan mereka pegang sehingga semua keuntungan atas penerbitan karya kita akan jatuh ke mereka. Kita sebatas jadi pekerja,” lanjutnya.

Industri komik Eropa juga memberinya banyak keleluasaan. Ia tidak diperlakukan sebagai tukang gambar atau tukang mewarnai, tetapi juga ikut menentukan konsep awal bahkan dimungkinkan untuk menulis cerita sendiri.

Diburu penggemar
Apriyadi menceritakan, setiap tahun toko-toko buku di Belanda dan Belgia yang menjual aneka komik karyanya mengundang dia untuk bertemu dengan penggemarnya. Setiap kali acara seperti itu digelar, toko-toko buku itu penuh dengan pengunjung yang ingin berbincang dengan Apriyadi dan memburu tanda tangannya.

“Saya bahkan tidak sempat istirahat karena orang yang ingin mendapatkan tanda tangan antreannya panjang. Terus terang saya terharu melihat orang-orang asing itu menghargai komik saya begitu rupa,” katanya.

Setiap kali acara seperti itu digelar, penjualan komik karya-karya Apriyadi di toko-toko buku yang ia kunjungi akan melonjak. Para penggemar dan kolektor komik juga memburu lembaran-lembaran komik yang dibawa Apriyadi dari Indonesia. “Lembaran komik yang sebenarnya belum selesai dikerjakan pun dibeli orang ha ha ha,” tambahnya.

Begitulah. Pasar Eropa memberinya panggung sekaligus kehidupan buat Apriyadi yang telah memutuskan untuk hidup dari komik. Setiap enam bulan sekali, ia mendapat royalti paling sedikit Rp 850.000 dan paling banyak Rp 50 juta. Pendapatan lainnya ia peroleh dari acara temu penggemar dan penjualan lembaran komik yang ia istilahkan dengan “ngamen”. Sekali “ngamen” ke Eropa, ia bisa memperoleh 15.000-an euro atau sekitar Rp 240 juta.

ROLF KRUGER--Apriyadi Kusbiantoro ketika melayani penggemarnya di Belanda yang ingin meminta tanda tangan. Foto: Rolf Kruger

Ia juga mengerjakan animasi untuk beberapa film. Belakangan, ia merambah poster film. Poster yang ia kerjakan antara lain untuk film Sekala dan Niskala (The Seen and Unseen) dan Sultan Agung.

Jejak
Dunia komik telah membetot minat Apriyadi sejak duduk di bangku SMP di Lombok. Saat itu, di kotanya lebih mudah mendapatkan komik-komik dari Eropa seperti Storm, Asterix, dan Tintin. Setelah itu, ia baru membaca komik produksi AS dan Jepang.

Dari kebiasaan membaca komik, ia mulai tertarik membuat komik sendiri tapi tidak pernah selesai. Pada 1994, barulah ia mampu menyelesaikan komik secara utuh untuk diikutsertakan pada kompetisi komik yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia berhasil menjadi juara kedua.

Setelah lulus SMA, Apriyadi memantapkan diri untuk bekerja di bidang kreatif. Ia mengincar jurusan Disain Komunikasi Visual di Institut Kesenian Indonesia (ISI) Yogyakarta. Sebenarnya, kedua orangtuanya menginginkan Apriyadi bekerja sebagai orang kantoran. “Ibu saya maunya saya kuliah di jurusan arsitek. Katanya jurusan itu juga ada ngegambarnya,” kenangnya.

Beruntung pamannya tahu bakat Apriyadi. Dialah yang mencarikan brosur untuk kuliah di ISI Yogyakarta. “Tapi saat itu paman hanya membayangkan saya jadi seniman jalanan di Jalan Malioboro.”

Setelah mendapatkan brosur, Apriyadi berangkat seorang diri dengan bus dari Lombok ke Yogyakarta untuk ikut ujian masuk di ISI. “Sampai di Terminal Umbulharjo saya bingung karena nggak ada kenalan di Yogyakarta ha ha ha.”

KOMPAS/BUDI SUWARNA--Apriyadi Kusbiantoro memperlihatkan karyanya saat ditemui di rumahnya di Jetis, Bantul, Yogyakarta, Kamis (30/5/2019).

Singkat cerita Apriyadi diterima kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual ISI. Di kampus itu keterampilan seninya diasah. Setelah lulus kuliah, ia bekerja sebagai animator di perusahaan periklanan. “Sampai sekarang saya masih mengerjakan animasi sebagai pekerjaan sampingan.”

Laki-laki kelahiran Mataram itu masuk ke jaringan pasar komik Eropa pada 2012. Awalnya, ada penggemar komik asal Belanda yang melihat karya Apriyadi di gerai di galeri online Devian Art. Penggemar komik itu merasa karya Apriyadi mengingatkan dia pada komukis terkenal di Belanda.

“Dia kemudian mengundang saya untuk bikin komik di suplemen majalah Brabantstrip yang terbit di Belanda. Mesti belum dibayar, tawaran itu saya terima. Ternyata respons dari pembaca bagus,” katanya.

Sejak saat itu, jalan Apriyadi untuk masuk ke industri komik Eropa terbuka lebar. Ia menerima tawaran demi tawaran untuk membuat komik di majalah, membuat buku komik, maupun membuat lembaran komik untuk kolektor.

Setelah masuk ke pasar Eropa, ia berusaha mengejar obsesinya untuk membuat komik yang sepenuhnya ia kerjakan sendiri mulai konsep cerita, narasi, karakter tokoh, hingga pewarnaan. “Sejauh ini baru satu yang selesai yakni serial Rajah Dewabrata. Meski berat, tapi pasti memberi kebanggaan sendiri,” tutupnya.

Apriyadi Kusbiantoro

Lahir: Selong, Mataram, Lombok, 21 April 1976

Istri: Khaerina

Pendidikan:
Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Disain Komunikasi Visual (1994-2005)
SMAN I Selong, Lombok Timur (1991-1994)
SMPN I Selong, Lombok Timur (1989-1991)
SDN 7 Selong, Lombok Timur (1983-1989)

Karya komik antara lain
George Carlin (Bluewater, AS, 2011)
Three Stooges (Bluewater, AS, 2012)
SOFT, Illustrated Masques Compilation (IDW, AS, 2011)
Radio Gaga (Dark Horse Presents, AS, 2012)
Lemuria, De Bergen van Moran (Dark Dragon Books, Belanda, 2014)
Lemuria, Die Berge von Moran (Splitter Verlag, Jerman, 2014)
Lemuria, Strijd Onder Water (Don Lawrence Collections, 2015
Lemuria, Das Amulet (Splitter Verlag, Jerman, 2015)
Adjisaka (Stripglossy Magazine, Belanda, 2017)
Saul, De Levende Mantel (Uitgeverij Personalia, Belanda, 2018)
Si Buta Dari Gua Hantu – Buronan (Pluz+, 2011)
Fajar Di Hastina (Gatra Pustaka, 2015)
Rajah Dewabrata (Gatra Pustaka, 2016)
Email: Prey47@gmail.com

BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 20 Juni 2019

No comments:

Post a Comment