Wednesday, November 6, 2019

Suroto, Pegiat Literasi dari Kali Bendo

KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI--Suroto, Pegiat Literasi dari Kali Bendo Sidoarjo, Jawa Timur--KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI (NIK)

Suroto tak hanya menyediakan bacaan gratis untuk memperkaya pengetahuan warga. Dari tepian Kali Bendo, dia mengalirkan beragam ketrampilan yang mampu menjawab tantangan kehidupan, memotivasi lahirnya inovasi, serta berkontribusi mengembangkan peradaban di masa depan.


Tapak Kali Bendo, Sidoarjo, pagi hari. Pendar cahaya putih sang surya menerobos rimbun dedaunan pohon yang tumbuh subur di sepanjang bantaran kali yang kini bersih, terawat, dan rapi. Puluhan ibu rumah tangga beragam usia, duduk merajut simpul-simpul tali.

Sulit rasanya membayangkan, jalan setapak di bantaran Kali Bendo, Desa Tebel, Kecamatan Gedangan, itu kini menjadi pusat kegiatan masyarakat. Alih-alih duduk berlama-lama berdiskusi atau belajar merajut simpul-simpul tali, melewatinya, rasanya malas karena dulu dipenuhi tumpukan sampah, berbau busuk, dan airnya tak mengalir lancar.

Adalah Suroto (56) yang mengajak masyarakat agar tak lagi membuang sampah ke sungai yang menjadi halaman muka rumah-rumah warga tersebut. Dia juga mengajak warga sepanjang kali menjaga kebersihan dan menanam bunga untuk menghijaukan bantaran.

Alhasil, Kali Bendo berubah menjadi asri hingga warga mulai betah duduk berlama-lama di tepiannya. Ada yang sekadar melepas penat setelah seharian bekerja, bertegursapa dengan tetangga, atau membuat kegiatan bersama.

Seperti yang terlihat pada Sabtu (27/10/2019), para perempuan yang tergabung dalam tim Penggerak Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Sruni, Sidoarjo, duduk di bantaran kali. Mereka bebas bersila, berselonjor, bersilang kaki, bahkan berdiri.

Di bawah arahan Suroto, ibu rumah tangga yang rata-rata tak bekerja itu berlatih membuat kerajinan tangan macrame atau seni merajut simpul-simpul tali. Kali ini, mereka membuat gantungan pot bunga yang menawan untuk mempercantik rumah.

Ketua PKK Desa Sruni Fissilmi (37) mengatakan pelatihan seni melilit tali diberikan secara gratis oleh Suroto. Peserta hanya mengganti biaya pembelian bahan atau menyediakan bahan sendiri. Agar tidak membosankan, para peserta juga membawa kudapan dan minuman sendiri.

Literasi Lingkungan
Memberikan pelatihan kerajinan macrame hanyalah secuil aktivitas sosial Suroto. Rumah yang menghadap langsung ke Kali Bendo itu kerap disinggahi orang yang ingin belajar baik tentang kerajinan macrame, pembuatan minuman olahan berbahan lidah buaya, atau berdiskusi tentang literasi.

Tamu-tamu tidak hanya datang dari Sidoarjo melainkan berbagai kota di Jatim bahkan dari luar Jawa. Bagi yang tidak bisa datang, Suroto bersedia mendatangi mereka untuk melatih ketrampilan atau berbagi pengalaman tentang literasi dan pelestarian lingkungan.

“Edukasi macrame merupakan bagian dari upaya menciptakan peluang kerja baru pada bidang industri kreatif. Dengan modal ketrampilan itu, masyarakat bisa menghasilkan produk-produk kreatif yang bernilai jual tinggi,” ujar suami Siti Mudrikah (53) ini.

Suroto membina perajin macrame di desanya. Hasil karya perajin dia kumpulkan untuk dijual ke Bali. produknya beragam mulai souvenir berupa gantungan kunci, gantungan pot bunga, hingga tirai atau korden. Para perajinnya yang mayoritas ibu rumah tangga bekerja dari rumah sehingga mereka bisa mengurus keluarga dengan baik.

Dia juga memproduksi minuman olahan berbahan lidah buaya yang diproses secara alami. Pekerjanya juga masyarakat sekitar. Adapun bahan lidah buaya diperoleh dari warga yang menanam di rumah masing-masing. Namun karena Sidoarjo merupakan kota satelitnya Surabaya, permukiman penduduknya sangat padat, tanaman pun disiasati dengan pot.

“Mengajak warga menanam lidah buaya tidak hanya mendapatkan bahan baku, melainkan memberikan tambahan penghasilan untuk mereka sekaligus menghijaukan lingkungan,” kata Suroto yang gemar berbagi tanpa khawatir usahanya bakal tersaingi.

Seiring waktu, aktivitas pria yang menjabat sebagai Kepala Seksi Pemerintahan Desa Tebel ini semakin padat. Tak hanya memberi pelatihan, dia juga ikut menginisiasi beragam diskusi untuk menggiatkan literasi di kampungnya.

Ruang terbatas di samping rumahnya “disulap” menjadi perpustakaan umum merangkap base camp. Sedangkan jalan setapak di depan rumahnya, di pinggir Kali Bendo menjadi pusat interaksi masyarakat. Untuk memberikan akses yang lebih luas terhadap buku bacaan, dia juga mengelola micro library atau perpustakaan mini.

Bekerjasama dengan Bait Kata Library, semangat literasi masyarakat digelorakan dari tapak kali, mengalir melalui gang-gang sempit, melewati makam, menjamah tempat ibadah, dan berlanjut hingga teras rumah. Dia sadar hanya dengan literasi, masyarakat akan teredukasi sehingga mereka menjadi lebih berdaya.

Wisata Pinggir Kali
Di usianya yang tak lagi muda, semangat Suroso untuk mencerdaskan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka tak pernah padam. Baru-baru ini dia merintis program Wisata Pinggir Kali yang menawarkan pelatihan ketrampilan macrame dan edukasi tentang lingkungan dengan tarif terjangkau.

Pengunjung akan disuguhi olahan lidah buaya organik, serta berwisata menyusuri kampung dengan hiasan mural-mural cantik di berbagai sudutnya. Mereka bisa belajar tentang aneka tanaman, membaca koleksi buku di microlibrary, dan berswafoto di spot-spot cantik. Klimaksnya, pengunjung diajak mencecap hidangan rumahan khas Sidoarjo.

“Keseluruhan keuntungan dari hasil kunjungan ini digunakan untuk mengembangkan Kampung Literasi Tapak Kali Bendo agar lebih nyaman, asri, dan ramah lingkungan. Juga memberdayakan lebih banyak warga,” ucap pria kelahiran Kembang Kuning Surabaya, 24 April 1963 ini.

Meski dikenal sebagai pendiri dan pegiat literasi, pria yang bekerja sebagai penjual bibit tanaman ini mengaku tak paham makna literasi. Warga yang tinggal di Sidoarjo sejak 1982 ini mengklaim hanya melakukan apa yang menurutnya bermanfaat bagi sekitarnya. Dia baru belajar setelah tempatnya kerap menjadi jujugan untuk menimba ilmu.

Hal itu bisa dimaklumi karena setamat Sekolah Menengah Atas, ayahanda Arif Abdillah ini tak melanjutkan kuliah. Dia berwiraswasta sebagai pedagang aneka barang, pembibit tanaman dan menjualnya ke pedagang tanaman hias. Tahun 1994 dia bekerja sebagai Kepala Seksi Pemerintahan hingga sekarang.

Kendati bekerja di pemerintahan, Suroto tak mau mencari sumber pendanaan dari desa maupun instansi pemerintah lainnya. Alasannya sederhana, agar tidak terjebak pada pragmatisme program melainkan lebih mengedepankan pemberdayaan terhadap masyarakat.

“Program dari pemerintah seperti itu kebanyakan tidak berjalan maksimal karena orientasinya anggaran. Saya memilih mengelola secara swadaya supaya berkesinambungan,” kata Suroto yang mendapat dukungan penuh dari keluarga.

Wisata pinggir kali menjadi salah satu strategi Suroto mencari sumber pendanaan untuk merawat literasi. Agar tidak membebani, dia pun tak mematok tarif tinggi melainkan terjangkau. Upaya lain menjual produk dan menyisihkan sebagian keuntungannya untuk mengembangkan usaha yang kini dikelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat Lorong Lestari.

Dalam salah satu muralnya, Suroto menuliskan pesan dari Pramoedya Ananta Toer, “Berterimakasih pada segala yang memberi kehidupan”. Cara terbaik berterimakasih pada kehidupan adalah dengan mewariskan hal yang bermanfaat bagi kemajuan peradaban.


Nama : Suroto

Lahir : Surabaya, 24 April 1963

Istri : Siti Mudrikah (53)

Anak : Arif Abdillah (29)

Pekerjaan : Perangkat Desa Tebel

Pendidikan :
SDN 78 Ngesong Surabaya lulus 1978
SMP 14 Surabaya lulus 1981
SMA Angkasa Sidoarjo lulus 1984

RUNIK SRI ASTUTI

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2019

No comments:

Post a Comment