Friday, April 24, 2020

Dody Adi Wibowo Meningkatkan Cita Rasa Kopi Lombok


Dody Adi Wibowo pulang ke daerah asalnya untuk menaikkan harkat kopi Lombok. Tak mau setengah-setengah, dia memulai dari hulu, dari mulai budidaya tanaman kopi sampai pascapanen.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Dody Adi Wibowo mengangkat harkat kopi Lombok sehingga kesejahteraan petani pun meningkat.

Dody Adi Wibowo (38) bercita-cita bisa memandirikan petani kopi di Pulau Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia mengangkat harkat kopi Lombok dengan terlibat langsung membenahi sektor hulu dari budidaya hingga pengolahan pascapanen kopi.

”Komoditi kopi robusta asal Lombok khususnya memiliki karakter rasa yang menarik apabila penanaman, pemeliharaan, dan pascapanen tepat guna. Makanya, benahi dulu mutu produk, karena konsumen hanya memilih biji kopi berkualitas bagus untuk dijadikan bahan dasar pembuatan kopi,” ujar Dody, warga Komplek Perumahan BTN Gunungsari, Lombok Barat, sekitar 7 kilometer utara Mataram, Ibu Kota NTB, Selasa (14/4/2020).


Dody tidak percaya melihat kopi Lombok yang masih asing dibandingkan produk kopi daerah lain. Itu diketahuinya saat kuliah di Yogyakarta dan menjadi pemasok kopi bagi kedai kopi seorang temannya.

”Hampir semua pengunjung tidak mengenal kopi Lombok. Pengunjung umumnya memesan kopi Aceh Gayo, Toraja, Kintamani (Bali), Wamena Papua,” katanya.

Pertanyaan itu terjawab setelah Dody pulang kampung tahun 2011 dan membuka kedai kopi di Mataram. Dia kesulitan mendapatkan biji kopi berkualitas. Padahal areal tanam di Lombok relatif luas. Belakangan, diketahui biji kopi Lombok tidak memenuhi teknik budidaya dan pascapanen yang benar. Petani tidak merawat tanaman kopi dengan baik.

Pohon kopi rata-rata berumur lebih dari 20 tahun, batang bawahnya disesaki gulma. Proses panen dan pengeringan biji kopi dilakukan asal-asalan, dengan meletakkan kopi di atas tanah dan tidak sortir. Ketika biji kopi kering dijemur, langsung dijual ke tengkulak dengan harga rendah.

Kondisi itu mendorong Dody untuk mengangkat cita rasa kopi Lombok dengan membina dan mendampingi para petani. Dia mengambil biji kopi dari para petani yang kemudian dikemas menjadi biji kopi roasting dan bubuk. Sebagai proyek awal, ia mendampingi petani tiap hari di Desa Rempek, Lombok Utara.

Dody merangkul satu kelompok tani yang mengelola 4 hektar lahan yang dijadikan demonstration plot sebagai media belajar. Para petani menanam kopi robusta dengan jarak tanam ideal, yaitu, 3 meter x 3 meter. Di areal itu, mereka juga menanam beragam lain, seperti durian, pisang, mangga, cokelat, dan pohon aren.

Selain itu, Dody meminta tanaman kopi dipangkas supaya mendapat sinar matahari yang cukup. Pemangkasan tanaman kopi memudahkan petani memanen serta mengontrol gulma.

Ketika masa panen tiba, petani diajari proses sortir, yaitu membuang daun dan ranting, lalu memilah buah merah/buah matang, buah kuning atau hijau. ”Biji kopi ibarat warna pelangi: buah merah, hijau, atau kuning bercampur, lalu dijual dengan harga sama. Padahal buah matang kopi lebih mahal,” kata Dody.

Petani pun diajarkan cara menjemur selama 25 hari di tempat tertentu untuk mendapatkan kadar air kopi robusta sekitar 12 persen. Biji kopi dijemur di tempat tertentu, tidak digelar di atas tanah karena rasa tanah akan ”tertular” pada rasa kopi.

Setelah panen, produk biji kopi itu diolah dengan mesin giling yang dilengkapi pengukur suhu dan panas, agar aroma dan cita rasa kopi terjaga. Ekstrak kopi itu ia tunjukkan kepada petani, yang ternyata pangling kopi bubuk itu adalah biji kopi yang ditanamnya.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Dody ingin kopi Lombok bisa semakin dikenal para pencinta kopi.

Manfaat ekonomi
Dengan teknik budidaya dan pascapanen yang benar, kata Dody, petani merasakan manfaat ekonomi. Misalnya, dari harga tertinggi Rp 19.000-Rp 22.000 per kilogram per kilogram kopi robusta green bean, tahun 2017 bisa dijual Rp 35.000-Rp 40.000 per kilogram. Petani juga bisa menjual kopi cacat (defect) kepada tengkulak.

”Malah tengkulak marah-marah karena selalu dapat biji kopi cacat dari petani binaan kami.”

Untuk membantu pemasaran produk petani, Dody mengemas produk kopi dengan menyertakan asal produk kopi itu, dengan merek dagang miliknya, Etnic Lombok Coffee. Kopi robusta itu dijual seharga Rp 35.000 per 200 gram untuk bubuk dan biji. Selain mendapat pesanan melalui daring, kopi produknya juga masuk supermarket lokal dan menjadi pilihan pengusaha kafe di salah satu hotel bintang empat obyek wisata Senggigi, Lombok Barat.

Dody juga mengulurkan tangan membantu para produsen kopi di Pulau Sumbawa karena mahalnya ongkos pengiriman. Misalnya, kopi jenis arabika asal Dusun Punik, Desa Baturotok, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, yang fruity, pahit, gurih, dengan rasa citrus, melon, cokelat, dan gula merah, termasuk jenis kopi liberica yang ditanam di sekitar Gunung Tambora. Hasil penjualan Rp 40.000 kemasan 200 gram, Dody mengambil upah Rp 5.000, sisanya Rp 35.000 buat produsen.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Kemasan kopi Lombok yang siap dijual ke konsumen.

Menurut Dody, para pencinta kopi lebih menyukai specialty kopi arabika. Namun, dengan cita rasanya khas, kopi robusta diolah menjadi kualitas prima atau fine robusta, apalagi 80 persen produk kopi di NTB adalah kopi robusta, sisanya 20 persen kopi arabika.

”Saya fokus garap dan mengangkat kopi robusta yang dengan karakter citarasanya bisa mencapai fine asalkan penanaman dan pascapanen dengan cara yang tepat,” ujarnya. Cita rasa kopi robusta Lombok: fruity (rasa buah), herby (sayuran), dan spicy (kayu manis, cengkeh).

Keyakinan itu didapat tahun 2014, ketika Dody hadir dan membawa produk pada acara ulang tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Chile di Jakarta. Pengusaha dari Chile tertarik dengan citarasa kopi Lombok, juga bersedia mengimpor satu kontainer (18 ton) sebulan kopi robusta dan arabika. Permintaan itu tidak disanggupi karena produksi kopi saat itu sekitar 10 ton.

Permintaan itu mengindikasikan kopi Lombok mulai dikenal sekaligus membulatkan tekadnya mengangkat kasta kopi Lombok. Tahun 2019, Gabungan Kelompok Tani/Gapoktan Desa Batu Mekar, Lombok Barat, bekerja sama dengan Dody.

Ada 830 ha Hutan Kemasyarakatan/Hkm yang digarap 15 kelompok tani (15 orang-30 orang per kelompok) sebagai proyek percontohan. Guna menghindari permainan tengkulak, petani harus menjual produk ke Koperasi Gapoktan yang membeli sesuai standar harga, tetap membayar retribusi Rp 2.000 per meter dari total luas lahan garapan, dan menerima sanksi kartu penggarapnya dicabut jika melanggar ketentuan itu.

Dody Adi Wibowo

Lahir: 15 Januari 1982 di Mataram

Istri: Nadin Jamatil Akbar (29)

Anak: Shakeel Aspanabihan (2)

Pendidikan:
– SDN 4 Mataram, tamat tahun 1999
– SMPN 6 Mataram, tamat tahun 2002
– SMAN 2 Mataram, tamat tahun 2005
– Fisipol Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, tamat 2010

Oleh  KHAERUL ANWAR

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 25 April 2020

No comments:

Post a Comment