Monday, September 16, 2019

Misman dan Bachtiar Bebaskan Sungai Karang Mumus dari Sampah

KOMPAS/SUCIPTO--Kiri ke kanan: Misman (60) dan Bachtiar (49) berpose di sekitar Daerah Aliran Sungai Karang Mumus di Jalan Muang Ilir, Gang Tani, RT 27, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (6/9/2019). Mereka adalah penggerak Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus.

Samarinda, Kalimantan Timur. Di kota inilah, dengan serba kebetulan, Misman (60) dan Bachtiar (49) dipertemukan semesta melalui dua hal: sungai dan seorang kawan. Mereka memperjuangkan kualitas terbaik air sungai agar anak-cucu kelak masih bisa menikmatinya. Kisah berlanjut, tetapi tak sederhana.

Sebelum tahun 2015, Misman yang bekerja sebagai wartawan di Samarinda kerap meluangkan waktu memungut sampah di Sungai Karang Mumus. Sungai itu membentang sekitar 40 kilometer. Sebagian besar sungai itu membelah Kota Samarinda. Fungsi utama Sungai Karang Mumus adalah sebagai penyuplai air baku untuk air bersih dan irigasi masyarakat di kota itu.

Misman yang lahir dan tumbuh di Samarinda ingat betul pernah menghabiskan waktu untuk berenang dan mencari ikan di Sungai Karang Mumus. Itu terjadi sebelum tahun 1985. Seiring pertumbuhan kota, Misman kehilangan tempat bermain. Rumah-rumah mulai padat di sekitar daerah aliran sungai di pusat kota. Air yang semula jernih, perlahan menghitam dan dipenuhi sampah di banyak titik.

Semakin ia dewasa, semakin padat pula permukiman di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus. Tanaman di daerah aliran sungai dipangkas dan berubah jadi permukiman. Saat musim hujan tiba, permukiman itu digenangi banjir. Pemerintah membuat berbagai program dengan mengeruk sedimentasi, merelokasi, hingga menurab sungai. Namun, hingga saat ini, banjir masih menjadi masalah di Samarinda.

KOMPAS/SUCIPTO--Kiri ke kanan: Misman (60) dan Bachtiar (49) berpose di sekitar Daerah Aliran Sungai Karang Mumus di Jalan Muang Ilir, Gang Tani, RT 27, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (6/9/2019). Awalnya mereka memungut sampah dari sungai secara sukarela. Belakangan, aksi mereka jadi gerakan bersama. 

Misman merasa ada yang tak beres dengan pandangan itu. Baginya, sungai meluap saat hujan lebat adalah hal biasa. Itu memang sifat sungai. Seharusnya manusia senang dengan air yang melimpah. “Seharusnya manusia yang hidup menyesuaikan dengan sungai. Bikin rumah panggung atau menjauh dari daerah aliran sungai,” kata Misman saat ditemui Jumat (6/9/2019) lalu.

Misman juga tak habis pikir, tempat bermainnya dan anak-anak lain berpuluh-puluh tahun lalu semakin kotor dan bau di beberapa titik. Kotoran rumah tangga langsung mengalir ke selokan dan akhirnya berakhir di Sungai Karang Mumus. Pemandangan itu mengusiknya.

Misman jadi punya kebiasaan memungut sampah di Sungai Karang Mumus. Jika ada waktu panjang, ia kerap menyusuri sungai dengan perahu kayu untuk memungut sampah-sampah itu. Ia juga mempublikasikan kegiatannya di media sosial dengan harapan banyak yang ikut resah dengan keadaan itu. Ia menyebut kegiatannya itu “Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus”, disingkat GMMS-SKM.

Di sudut Sungai Karang Mumus lain, Bachtiar–yang akrab disapa Iyau–punya keresahan sama. Ia yang sering nongkrong dan mengobrol di tepi sungai, kerap melihat orang membuang apa saja ke sungai. Ada yang membuang ikatan plastik berisi beragam sampah, ada yang membuang bungkus makanan, dan berbagai kebiasaan lain yang mengotori Sungai Karang Mumus.

KOMPAS/SUCIPTO--Misman (60) dan anak-anak Sekolah Sungai Karang Mumus menyusuri kawasan hijau di tepi Sungai Karang Mumus di RT 27, Jalan Muang Ilir, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (6/9/2019).

Tangan Iyau “gatal”. Ia juga punya kenangan masa kecil saat bermain di Sungai Karang Mumus. Ia kemudian mencari kayu untuk mengambil sampah-sampah itu. Beberapa sampah yang bisa ia jangkau, ia letakkan di tepi sungai. Ia biarkan beberapa hari. Di waktu lain, saat sudah terkumpul cukup banyak, ia buang sampah itu ke bak sampah tak jauh dari sana.

Iyau mengerjakan hal itu berulang-ulang. Beberapa kawan yang melihat membantu membuatkan alat pengait sampah dari bambu dengan kaitan besi di ujungnya. Pada awal 2015, seorang kawan tertarik mempertemukan Iyau dengan Misman.

“Namanya Abdul Basyith. Dia juga kenal dan tahu sepak terjang Misman yang punya perhatian ke Sungai Karang Mumus,” kata Iyau.

Setelah Iyau dan Misman bertemu, mereka merasa lebih kuat dan punya harapan baru. Mereka sepakat, menyelamatkan sungai berarti menyelamatkan hidup anak dan cucu mereka kelak. Sebab, air adalah sumber kehidupan manusia. Dari air yang berkualitas bagus, satwa dan tanaman bisa hidup dan dikonsumsi manusia.

Misman dan Iyau melanjutkan kegiatan mereka untuk membersihkan Sungai Karang Mumus. Banyak yang membantu mereka, seperti mahasiswa, warga, dan berbagai kalangan dari Samarinda dan luar kota.

Tahun 2016, kawan-kawan Misman yang berprofesi sebagai wartawan mengusulkan agar gerakan itu dijadikan organisasi. Misman tak ingin direpotkan dengan persoalan administrasi. Akhirnya, kawan-kawan wartawan itu yang membantu mengurus legalitas organisasi GMSS-SKM.

Dari sana, banyak pihak yang membantu GMSS-SKM. Misman berpikir, harus ada tempat-tempat yang diduduki GMSS-SKM agar wilayah sekitar sungai terjaga dan terpantau. Banyak bantuan datang, baik berupa materi atau ide.

Berkat bantuan dari banyak sahabat, akhirnya GMMS-SKM bisa membeli tanah 200 meter persegi di tepi sungai di Jalan Muang Ilir, Gang Tani, RT 27, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara. Di sana dibangun Sekolah Sungai Karang Mumus. Kegiatan di lahan itu adalah melakukan penghijauan di daerah aliran sungai. Selain itu, mengajak anak-anak di sekitar untuk menanam pohon dan membersihkan sungai.

KOMPAS/SUCIPTO--Misman (60) bermain dan bernyanyi bersama anak-anak di Sekolah Sungai Karang Mumus yang ia dirikan bersama kawan-kawannya di RT 027, Jalan Muang Ilir, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (6/9/2019). Ia berharap anak-anak sadar, air di sungai adalah sumber kehidupan masyarakat sehingga perlu dijaga.

Sekitar 1 kilometer sepanjang aliran sungai di sana sudah ditanami berbagai pohon. Vegetasi di sekitar sungai penting dijaga untuk menjaga kualitas air. Selain itu, banyak satwa yang bisa berkembang dari tanaman-tanaman itu. Tanaman di sekitar sungai juga mencegah tepian sungai longsor.

“Sebab, menanam dan menjaga satu pohon itu lebih berarti daripada ribuan teori yang keluar dari mulut,” kata Misman.

Iyau menambahkan, menjaga sungai diharapkan menjadi kebiasaan anak-anak. Jika sudah merasakan manfaatnya, anak-anak diharapkan bisa menyebarkan hal itu ke orang di sekitar dan keturunannya kelak.

Selain sekolah sungai, GMMS-SKM juga memiliki pangkalan pungut sampah di tepi Sungai Karang Mumus di Jalan Abdul Muthalib, Kecamatan Samarinda Ilir. Siapa saja bisa menggunakan pangkalan itu untuk mengumpulkan sampah yang ada di sungai. Bahkan, pangkalan itu digunakan untuk berbagai kegiatan warga, seperti posyandu, pendidikan anak usia dini, dan pertemuan warga.

Sebelum kami berpisah, Misman bilang dengan penuh harap. Ia tak ingin gerakan yang ia gawangi itu bertahan lama dan menjadi besar. Ia bahkan ingin gerakan itu segera bubar.

“Kalau semua orang sudah sadar bahwa kita semua sangat butuh sungai, itu bagus. GMMS-SKM sudah tidak diperlukan. Kita semua menjaga sungai sukarela,” katanya penuh harap.

Misman

Lahir: Samarinda, 4 April 1959

Pendidikan:
SMEA Pembina 1 Samarinda, 1979 (Sekarang SMEA 1 Samarinda)
Fisip Universitas Mulawarman (tidak tamat)
Penghargaan: Perintis Lingkungan Kalimantan Timur 2018

Bachtiar (Iyau)

Lahir: Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1970

Pendidikan: SMAN 1 Samarinda (1990)

Penghargaan: Petugas KPPS Terbaik Kecamatan Samarinda Kota 2015

SUCIPTO

Editor BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 17 September 2019

No comments:

Post a Comment