KOMPAS/ERIKA KURNIA--Adi Panuntun, CEO Sembilan Matahari
Sejak kecil Adi Panuntun mengetahui bahwa ada banyak hal yang menarik disimpan di museum. Namun, saat itu ia enggan masuk karena meseum memberi kesan dingin dan menyeramkan. Ia kini mengubah citra itu dengan teknologi dalam wujud karya instalasi interaktif.
Musik bernuansa sinematik kolosal mengantar kemunculan sebuah kapal layar besar ke tepi sebuah dermaga. Di sana, masyarakat pesisir Pulau Jawa yang tengah beraktivitas tampak tidak siap dengan kedatangan mereka. Satu, dua, tiga kapal kemudian menyusul di bawah bendera putih bertuliskan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Pada media transparan berukuran 4 x 6 meter, suasana awal okupansi kolonial Belanda di wilayah yang kini dikenal sebagai Jakarta itu digambarkan dalam animasi hologram. Babak itu menjadi salah satu bagian sejarah Jakarta yang divisualisasikan dalam durasi 25 menit. Adi Panuntun menamai instalasi itu sebagai ”Kala Jakarta”.
Jakarta itu sangat sarat akan inspirasi, tidak hanya tentang politik atau kontroversi, tapi juga cerita inspiratif dapat digali dari sejarahnya.
”Jakarta itu sangat sarat akan inspirasi, tidak hanya tentang politik atau kontroversi, tapi juga cerita inspiratif dapat digali dari sejarahnya,” kata Adi di hadapan sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan insan media di Museum Sejarah Nasional, Monumen Nasional (Monas), Jakarta, akhir Juli 2019.
Meski hanya dipajang satu minggu dalam acara ”Monas Week”, instalasi itu menjadi pusat perhatian pengunjung museum. Diorama-diorama sejarah yang mengelilingi seisi ruangan itu pun seakan tenggelam ditelan sunyi.
Instalasi itu bukan hanya berhasil menarik pengunjung, tetapi juga melawan rasa takut Adi kecil pada suasana museum Monas atau museum lain yang pernah ia kunjungi puluhan tahun lalu. Kini, Adi bertekad mengubah citra museum yang menakutkan dan membosankan menjadi menarik dan interaktif.
”Museum harus inovatif dan interaktif dengan melibatkan media baru. Saya tertarik, bagaimana kita menemukan inovasi-inovasi,” ujarnya.
Eksplorasi
Tekad untuk menghidupkan sejarah dengan teknologi direalisasikan Adi lewat studio kreatif multidisiplin Sembilan Matahari, yang didirikan bersama adiknya, Sony Budi Sasono, pada 2007. Sebagai kepala kreator, ia telah menelurkan banyak karya dalam bentuk video mapping di sejumlah museum di dalam negeri. Benda-benda yang dijadikan obyek video mapping mengalami sentuhan ilusi optik sehingga seolah-olah lahir dan hidup di hadapan kita.
Pada 2010, ia menyajikan pertunjukan video mapping di muka gedung Museum Fatahillah Jakarta. Karya itu menjadi gebrakan karena studio miliknya sebelum ini hanya fokus membuat film independen. Salah satu film yang diproduksi Sembilan Matahari dan diproduseri Adi berjudul Cin(T)a pada 2009, yang meraih Piala Citra Festival Film Indonesia untuk Skenario Asli Terbaik.
KOMPAS/DOKUMENTASI SEMBILAN MATAHARI--Karya video mapping Sembilan Matahari yang dihadirkan di Museum Bank Indonesia.
”Kami kini lebih banyak mengeksplorasi media audiovisual lainnya, dengan pendekatan teknologi yang lebih kekinian dan cara pandang design thinking yang lebih inovatif,” tuturnya.
Sejalan dengan transformasi tersebut, tim di studionya tidak lagi diisi sutradara atau penulis film, tetapi animator, programer, desainer suara, hingga arsitek. Adi dan timnya lantas terus bereksplorasi pada teknik pencahayaan dan proyeksi untuk menghasilkan ilusi optis.
Beberapa karya mereka hadir di Science Center Bandung, Jawa Barat dan Samosir Geopark Galeri Museum di Sumatera Utara. Pada 2017 lalu, Adi dan timnya juga memprakarsai kehadiran instalasi immersive cinema di Museum Bank Indonesia (BI), yang kemudian diganjar dengan penghargaan Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri).
Di Museum BI, proyeksi video mapping empat dimensi dipasang untuk menampilkan perjalanan sejarah bangunan dan Museum BI. Dalam sekali pertunjukan, pengunjung bisa menyaksikan visualisasi sejarah dari segala sisi ruangan.
Saat saya kelas III SD, saya selalu disuruh tidur siang. Tetapi, saya tidak pernah bisa tidur. Di kamar, saya justru asyik bereksperimen.
Pengalaman tersebut, diakui Adi, tidak pernah ia bayangkan sewaktu kecil. Namun, ia tumbuh sebagai orang yang senang akan eksplorasi visual dan optik sejak berkenalan dengan cermin, kaca pembesar, dan kertas.
”Saat saya kelas III SD, saya selalu disuruh tidur siang. Tetapi, saya tidak pernah bisa tidur. Di kamar, saya justru asyik bereksperimen dengan tiga benda itu. Saya bermain-main untuk menghasilkan proyeksi gambar dari kaca pembesar ke cermin dan layar kertas, membentuk obyek bergerak, serta menangkap refleksi cermin yang penuh warna,” kenangnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)--Pengunjung menyaksikan video mapping karya Adi Panuntun dan Sembilan Matahari dengan latar gedung Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Kamis (13/3/2019) malam. Acara Fiesta Fatahillah yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ini menandai dimulainya revitalisasi kota tua.
Tiga benda itu tidak hanya membuatnya berimajinasi, tetapi juga melahirkan inspirasi. Saat hendak melangkah ke perguruan tinggi, ia membulatkan tekad untuk berkiprah dalam bidang visual, desain lintas disiplin, dan teknologi yang mengitarinya, termasuk video mapping.
Kemampuan Adi untuk memimpin usaha kreatif tidak hanya dibuktikan dengan omzet belasan miliar rupiah yang bisa dihasilkan Sembilan Matahari tiap tahun. Ia dan timnya juga banyak menghasilkan karya yang mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.
Tahun 2012, mereka berhasil merebut penghargaan Grand Prize Winner Projection Mapping Competition di Zushi Media Art Festival, Jepang. Karya seni instalasi video mapping-nya juga terpilih sebagai pemenang pertama Classic Category Video Mapping, Circle of Light di Rusia (2014); dan juara pertama Festival of Lights Championship di Jerman (2017).
Saat menjadi juara di Rusia, mereka menghadirkan tiga budaya Indonesia, yaitu batik, candi, dan angklung, dalam pertunjukan cahaya di depan Gedung VDNKh. Unsur budaya itu dituangkan dengan mengolaborasikan ciri khas lokal, dari musik dan boneka matryoshka.
Salah satu penilaian utama juri pada saat kami dimenangkan, musik dan visual yang kita bawakan bisa mengemas eksotisme budaya.
”Salah satu penilaian utama juri pada saat kami dimenangkan, musik dan visual yang kita bawakan bisa mengemas eksotisme budaya, tetapi tetap dapat diterima oleh masyarakat Eropa,” ujarnya.
Kesuksesan dan prestasi mereka tidak hanya dikuasai sendiri. Adi dan adiknya kemudian membuat Sembilan Matahari University. Meski universitas itu tidak hadir dalam bentuk fisik, kehadirannya ditujukan untuk menumbuhkan bibit creativepreneur lewat edukasi dan vokasi. ”Sembilan Matahari University tugasnya melahirkan sumber daya manusia baru di dunia kreatif,” katanya.
Lewat kegiatan pengabdian itu, Adi berharap akan lebih banyak pelaku industri kreatif di bidang visual yang dapat bersaing secara global. Apalagi, saat ini, pembuat video mapping dari luar negeri, seperti Jepang, Singapura, Korea, dan Rusia, sudah memasuki pasar Indonesia. ”Kita semua harus tumbuh berbarengan dan jadi tuan rumah bagi industri ini di sini,” ujarnya.
Mengenai persaingan dengan industri video mapping yang masuk dari belahan dunia lain, Adi tidak terlalu khawatir. Baginya, dunia seni dan kreatif memiliki karakter dan segmen masing-masing. ”Banyaknya pemain justru akan memperkaya ekspresi dari teknologi untuk Indonesia,” pungkasnya.
Muhammad Adi Panuntun
Lahir: Bandung, 23 Desember 1978
Pendidikan:
S-1 Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung (2007)
Magister Managemen Desain University of Northumbria, Newcastle, Inggris (2010)
Prestasi:
Produser film Cin(T)a yang meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2009 untuk Skenario Asli Terbaik
Grand Prize Winner Projection Mapping Competition di Zushi Media Art Festival, Jepang
Pemenang pertama Classic Category Video Mapping, Circle of Light di Rusia (2014)
Pemenang pertama Festival of Lights Championship di Jerman (2017).
ERIKA KURNIA
Sumber: Kompas, 5 Oktober 2019
No comments:
Post a Comment