Wednesday, October 30, 2019

Alimin, Penggerak Wisata Ramah Lingkungan dari Danau Semayang

--Alimin, sosok penggerak Desa Wisata di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berpose di salah satu sudut desanya, Rabu (27/11/2019). KOMPAS/SUCIPTO

 Alimin tahu bahwa pariwisata yang tidak dikelola dengan baik bisa mendatangkan mudarat pada lingkungan. Ia pun membuat gerakan ekowisata yang seiring dengan gerakan pelestarian lingkungan di Danau Semayang.

Jauh dari pusat kota, kesadaran warga terkait pentingnya kelestarian lingkungan kerap muncul melalui tindakan sederhana. Di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, kesadaran itu muncul dalam bentuk pengelolaan pariwisata yang ramah pada lingkungan. Penggeraknya bernama A (43).

Nama Alimin pasti akan disebut menyertai Desa Pela, kampung nelayan di tepi Danau Semayang. Wajahnya klimis, tawanya khas dan mengundang orang lain ikut tertawa. Ia mudah akrab dan tidak canggung bertemu siapa saja. Hal itu membuat dia mudah dikenal oleh komunitas-komunitas dan pejabat pemerintahan.

Komunitas jalan-jalan mengenalnya karena dia kerap mengunggah pemandangan Danau Semayang saat matahari terbenam. Danau itu berada di ujung Desa Pela. Berada di pinggir Danau Semayang seperti berada di tepi pantai. Danau Semayang seluas 13.000 hektar itu seperti lautan jingga ketika senja tiba. Bedanya, tak ada ombak.

Selain itu, Alimin juga kerap menggugah kehidupan nelayan di desanya. Sebagian besar warga Desa Pela berprofesi sebagai nelayan tangkap tradisional. Kegiatan memilah ikan, melempar jala, dan lalu lalang perahu ketinting mudah dijumpai.

Foto-foto rumah warga juga menarik. Arsitektur khas warga tepi sungai enak dipandang. Rumah-rumah kayu panggung dengan tinggi tiang sekitar 4 meter berjejer memanjang di Desa Pela. Warga menggunakan jembatan kayu ulin sepanjang 1 kilometer untuk mobilitas sehari-hari. Ada pula rumah-rumah apung. Teman-teman Alimin di media sosial jadi tertarik mengunjungi Desa Pela, apalagi desa itu adalah salah satu habitat pesut (Orcaella brevirostris) yang tersisa di Kalimantan Timur.

KOMPAS/SUCIPTO--Nelayan melempar jaring di Danau Semayang di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (27/11/2019). Ekowisata tumbuh di wilayah itu.

Mamalia yang juga disebut sebagai lumba-lumba air tawar itu kini sulit dijumpai di sepanjang Sungai Mahakam. Padahal, pada 1960-1970-an pesut masih bisa dilihat di Sungai Mahakam di depan kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda (Kompas, 22/3/1997).

“Di desa kami sekarang hanya tersisa sekitar 17 pesut. Dulu, tahun 1974 masih banyak. Bahkan, enam ekor dibawa ke Jakarta untuk dikembangbiakkan,” kata Alimin ketika ditemui pengujung 2019.

Unggahan foto dan video Alimin seolah mengundang orang-orang di luar Desa Pela datang. Desa ini memang tak terlalu sulit dikunjungi. Dari Tenggarong, pusat pemerintahan Kutai Kartanegara, bisa ditempuh melalui jalur darat sekitar 1 jam ke Desa Liang Ulu. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menaiki perahu menyeberangi Sungai Mahakam dan anak sungainya.

Dilema pariwisata

Orang-orang itu memburu dua hal, yakni senja dan pesut. Namun, Alimin merasa turisme bisa berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Sampah jadi berserakan dan warga kampung hanya menjadi penonton. Jika sampah tidak dikelola dengan baik, ia takut pesut yang populasinya semakin sedikit juga terdampak karena air tercemar.

Tahun 2017, Alimin mengajukan desanya sebagai desa wisata ke Pemerintah Kutai Kartanegara. Tujuannya agar segera dibentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) untuk mengelola orang-orang yang datang berwisata. “Supaya orang yang datang dan warga desa bisa sama-sama diuntungkan. Selain itu, agar sama-sama menjaga sungai,” katanya.

KOMPAS/SUCIPTO--Perahu nelayan melintasi Danau Semayang di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saat senja rebah, Selasa (26/11/2019).

Setelah Pokdarwis terbentuk, Alimin berkoordinasi dengan pemerintah desa. Ia mendorong agar dibuat larangan menangkap ikan menggunakan alat tangkap listrik. Jika tidak dikelola, dikhawatirkan populasi pesut terancam akibat penangkapan ikan yang serampangan. Alat tangkap tak ramah lingkungan juga berpotensi mengganggu tumbuh kembang ikan yang ada di Desa Pela, seperti lais, baung, dan jelawat.

“Kami ingin pariwisata ini mendorong pelestarian lingkungan. Di satu sisi nelayan butuh ikan yang banyak. Di sisi lain, kami juga ingin pesut tetap lestari sebagai ikon desa,” ujar Alimin.

Saat ini warga desa sudah sepakat dengan aturan itu. Mereka akan membawa nelayan nakal yang menangkap ikan dengan alat tangkap listrik ke pemerintah desa untuk mendapat peringatan. Saat air danau surut, ikan lambat berkembang biak. Jika ada yang menggunakan alat tangkap listrik, ikan-ikan yang masih kecil berpotensi ikut mati.

Saat Danau Semayang surut sekitar Agustus, salah satu sisi danau terlihat dasarnya. Rumput-rumput kecil tumbuh di sana sehingga terlihat seperti hamparan hijau yang luas. Saat-saat seperti itu, wisatawan banyak yang datang sore hari untuk bermain dan menikmati matahari terbenam. Jumlah kunjungan Agustus 2019 mencapai 2.000 orang.

“Dari kunjungan itu, nelayan jadi punya penghasilan tambahan ketika ikan sulit didapat. Mereka menyewakan perahu untuk menyeberang sungai. Ada juga yang menyewakan ban pelampung untuk orang berenang di danau,” kata Alimin.

Pokdarwis Desa Pela yang Alimin pimpin ini juga membuat kegiatan tahunan berupa Festival Danau pada 2018 dan akan dilaksanakan kembali tahun 2020. Kegiatannya diisi berbagai lomba, seperti lomba dayung, lomba menjala, lomba memancing, dan menangkap ikan dengan tangan kosong. Festival itu bisa diikuti siapa saja, termasuk wisatawan yang datang.

Museum nelayan

Alimin tak ingin pariwisata hanya menjadi pelepas penat semata. Menurut dia, pariwisata adalah kegiatan mengenal kehidupan dan lingkungan lain di luar rumah. Ia kemudian mengajak kelompok sadar wisatanya membuat museum sederhana.

KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO--Kondisi Danau Semayang, hulu Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, makin rusak parah akibat sedimentasi. Selain itu, eceng gondok yang makin banyak bertebaran di permukaan danau semakin menyulitkan warga.

Kerabat dekatnya memiliki rumah kayu tak terpakai. Ia membujuk agar rumah itu bisa dipakai untuk dijadikan museum nelayan. Setelah mendapat izin, rumah itu diisi dengan berbagai alat tangkap tradisional nelayan di Desa Pela. Ada pula kliping berita dan buku-buku yang berkaitan dengan Desa Pela.

Ikan-ikan yang terdapat di Desa Pela juga diawetkan. Peralatannya memang masih sederhana, berupa stoples plastik atau kaca yang berisi alkohol 70 persen. Salah satu ikan yang diawetkan adalah ikan pari air tawar dengan panjang sekitar 30 sentimeter. Ikan itu sulit ditemui di Sungai Mahakam. Ikan itu didapat karena tersangkut jala nelayan. Cara pengawetannya ia dapat dari mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desanya.

Saat ini, beberapa rumah warga sudah bisa dijadikan tempat menginap jika ada wisatawan yang ingin bermalam. Beberapa turis mancanegara yang menjadi tamu Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara juga kerap menginap di sana. Mereka biasanya disarankan untuk ikut nelayan menangkap ikan sejak pagi.

“Saya ingin mereka ke kampung bukan cuma berlibur. Mereka harus ikut nelayan menangkap ikan juga biar orang-orang itu belajar hidup dari pinggiran. Kami juga bisa belajar hal lain dari mereka,” ujar Alimin.

Alimin

Lahir: 17 Desember 1977

Pendidikan terakhir: SMAN 1 Kota Bangun

Penghargaan:

– Penggerak Gerakan Literasi Kutai Kartanegara (2019)

– Juara 3 Lomba Pokdarwis Kaltim (2018)

Oleh  SUCIPTO

Editor:  BUDI SUWARNA

Sumber: Kompas, 31 Januari 2020

No comments:

Post a Comment