KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG--Aan Anugrah, sukarelawan mitigasi bencana
Lelah masih tertinggal di wajah Aan Anugrah. Kantong matanya menggantung. Namun, bola matanya berbinar saat bercerita tentang perjalanannya mempromosikan mitigasi bencana di pelosok Banten, awal tahun ini.
Menggunakan mobil Suzuki Jimny lawas, dia berkelana bersama rekannya Idzma Mahayattika (38), 27 Januari hingga 18 Februari 2020. Misinya mulia, menebar pengetahuan hidup aman di tanah bencana.
Di Banten, mereka bergabung dengan pegiat program Sobat Mengajar yang lebih dulu hadir di sana. Aan dan Idzma menyambangi enam kecamatan, yaitu Sobang, Lebak Gedong, Bojong Manik, Cirinteun, Cigemblong dan Bayah. Jalan menuju daerah itu didominasi perbukitan naik turun nan curam.
Total ada 18 SD dan 1 SMA yang disambangi. Di setiap sekolah, mereka memaparkan mitigasi bencana mulai dari banjir, longsor, banjir bandang, serta gempa bumi dan tsunami. Hampir setiap malam, juga ada diskusi kearifan lokal bencana bersama warga.
“Kami memetakan potensi bencana bersama. Mulai dari membuat denah sekolah, mengukur kerentanan fisik dan potensi bencana, hingga melihat kelayakan komponen infrastruktur sekolah,” ujar Aan, saat ditemui di Bandung, Selasa (25/2/2020).
Aan mengatakan, hampir semua sekolah berdiri di kawasan rawan bencana. Namun, karena bangunannya tidak bisa dipindahkan begitu saja, penataan komponen di dalamnya jadi fokus utama.
Penempatan lemari buku, misalnya. Di semua sekolah, lemari berfungsi ganda dan berbahaya. Tidak hanya untuk buku, tapi jadi tempat menyimpan banyak benda lainnya.
“Selain lemarinya tidak diikat, atapnya jadi penyimpanan dadakan. Bila sewaktu-waktu terjadi gempa bumi, lemari dan segala isinya rentan ambruk melukai orang di sekitarnya,” ujarnya.
Akan tetapi, Aan mengatakan, tak semua sekolah minim mitigasi. Ada beberapa sekolah terbiasa memulangkan siswa saat hujan deras mengguyur daerahnya. Mereka cemas. Sekolah rentan dihajar longsor. Perjalanan siswa ke sekolah melintasi tebing tanah juga berisiko.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO--Pemukiman warga di masih porakporanda pasca diterjang banjir bandang di Kampung Muara di Desa Banjarsari, Lebakgedong, Lebak, Banten, Minggu (26/1/2020). Masyarakat perlu diberi pemahaman soal mitigasi bencana.
Tingkat kepekaan siswa juga tinggi. Saat pemetaan, potensi bencana bukan hanya hujan lebat dan tebing tanah. Siswa memasukan ular hingga pohon kering rentan tumbang di sekitar sekolah sebagai ancaman. Hal ini, kata Aan, kerap luput dipahami anak-anak kota yang relatif punya akses lebih baik.
Di akhir kegiatan, hasil pemetaan dipasang di dinding muka sekolah. Tujuannya jadi pengingat dan panduan bila bencana datang. “Harapannya, ilmu itu tidak hanya hidup di sekolah. Siswa bisa menyebarkannya pada keluarga di rumah dan warga di sekitar tempat tingalnya,” katanya.
“Tamparan” dari Aceh
Bukan kali ini saja Aan belajar dari anak-anak di daerah rawan bencana. Ia sudah beberapa kali “ditampar” di berbagai daerah. Semuanya jadi modal untuk menekuni jalam hidup yang ia pilih. “Pelajaran dari Aceh pascatsunami tidak pernah saya lupa,” kata dia.
Ia lantas memutar memori 13 tahun lalu. Itu adalah kesempatan keduanya mendatangi Aceh. Kali pertama, adalah dua minggu pascatsunami Aceh tahun 2004.
“Tahun 2004, fokus jadi relawan tanggap bencana. Tahun 2007, saya diminta isi pelatihan medis bagi penyintas tsunami. Saya ditempatkan di Lhok Nga, 13 kilometer dari Banda Aceh. Kawasan itu pernah disapu tsunami,” katanya.
Tiba di lokasi, ia disambut dingin 20 anak remaja. Materi yang disampaikan tak disimak. Beragam ajakan untuk aktif tidak direspon. Hingga akhirnya, Aan mengatakan semua materi pelatihan penting untuk menolong nyawa saudara saat bencana.
Peserta awalnya bergeming. Semua mulut masih terkatup. Tak ada suara yang terlontar. Baru sekitar 15 menit kemudian, ada salah seorang anak bicara. “Kakak terlambat. Kalau datang sebelum tsunami, kami mungkin bisa selamatkan orang tua !,”
Mendengar itu, giliran mulut Aan yang kelu. Di seperti disambar petir. Belakangan, dia baru tahu kalau anak-anak di hadapannya adalah yatim piatu. Orangtua mereka tewas akibat tsunami.
Beruntung, Aan terpaku tak lama. Anak yang tadi bicara kembali berujar “Tolong ajarkan kami kakak,”. Seperti dibangunkan, Aan kembali mengais kesadaran. Dia putar lagi keilmuannya mengajarkan anak-anak itu bekal medis saat bencana.
“Setelah itu, suasana jauh lebih cair. Saya selalu terharu bila ingat pengalaman itu,” kata Aan dengan mata berkaca-kaca.
Selepas Aceh, Aan mengatakan seperti punya semangat besar jadi relawan. Dia makin aktif belajar tentang medis dan pendampingan bencana. Ia mematangkan ilmu, yang sebelumnya didapatkan saat jadi relawan gempa Yogyakarta, Pangandaran hingga relawan pendidikan LIPI.
Akan tetapi, dia juga manusia biasa. Hatinya hancur pasca mendampingi penyintas tsunami Mentawai dan erupsi Merapi Yogyakarta tahun 2010. Dia sedih melihat bencana masih saja memakan korban jiwa. Aan yakin, salah satu pemicunya adalah perhatian minim berbagai pihak saat menata mitigasi bencana.
Berangkat dari keprihatinan itu Aan mengikuti ajakan rekannya, Riki Waskita, untuk mendampingi warga terdampak banjir tahunan di Majalaya. Apalagi Riki punya visi yang sama soal bencana. Bencana bukan sekedar ditangani lewat tanggap darurat atau evakuasi tapi butuh bekal mitigasi matang. Pada 2016, kesamaan visi itu melahirkan Yayasan Jaga Balai. “Balai” adalah kata dalam bahasa Sunda yang artinya bencana.
Tangguh bencana
Di awal kelahirannya, Jaga Balai menggelar Pelatihan Penyuluh Mitigasi Bencana Gerakan Tanah Berbasis Masyarakat pada 13 Juli 2016. Pesertanya 13 warga Kabupaten Bandung yang tinggal di kawasan rawan bencana. Peserta mendapat ilmu baru tentang mitigasi gerakan tanah hingga cara menyampaikannya ke masyarakat. Hingga kini, ilmu para peserta masih diterapkan di sekitarnya.
Seiring waktu, permintaan pendampingan bertambah. Jaga Balai makin dikenal. Tidak hanya melatih desa menjadi tangguh bencana, mereka juga masuk ke sekolah-sekolah memperkenalkan mitigasi bencana. “Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung mengajak kerja sama melatih warga tanggap bencana,” kata Aan.
Salah satu kolaborasi dengan BPBD Kabupaten Bandung melahirkan komunitas Rikat Tanggulun. “Rikat” adalah bahasa Sunda yang dalam bahasa Indonesia berarti tangkas atau cekatan. Gerakan ini berisi warga Desa Tanggulun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, yang tinggal di daerah langganan banjir Citarum.
“Selama tiga hari, mereka ikut pelatihan mitigasi, mulai dari pemetaan, alur koordinasi, hingga praktek lapangan. Semua kami lakukan tanpa biaya,” kata Aan.
Atep Sopwan (60), misalnya, penuh semangat memaparkan pemetaan kawasan rawan hingga lokasi evakuasi. Lelaki yang berprofesi sebagai petugas keamanan itu mengatakan, kawasan rawan berada di daerah cekungan dan bantaran sungai. Tempat evakuasi dipilih rumah warga yang berlantai dua atau di tempat yang lebih tinggi.
”Sebelumnya, saya tidak tahu mitigasi. Lewat pemetaan bersama, kini lebih paham harus mengerjakan apa saja saat bencana datang,” kata Atep yang didapuk jadi ketua relawan rikat.
Aan mengatakan, manfaat yang dirasa warga Tanggulun serupa seperti yang didapat anak-anak pedalaman Banten. Dari tidak tahu jadi lebih paham hidup bersama bencana. Dia yakin, masih banyak orang Indonesia di luar sana yang ingin mendapat pelajaran serupa.
Hal itu juga yang membuatnya begitu bersemangat kembali berkelana. Pada April 2020, ia akan kembali ke Bayah, Banten, bersama U Inspire Indonesia. U Inspire adalah komunitas yang fokus pada pengurangan risiko bencana dan beranggotakan profesional muda dari berbagai lembaga.
Selama seminggu, dia akan melengkapi kisah mitigasi lokal masyarakat setempat. Harapannya, kisah yang bisanya disampaikan lisan, bisa didokumentasikan agar manfaatnya bisa dinikmati banyak orang. “Semoga saya semakin mendapat banyak ilmu lagi untuk disebarkan lebih luas pada semua orang yang saya temui kelak,” katanya.
Aan Anugrah
Lahir : Indramayu, 17 Oktober 1981
Pendidikan terakhir : SMA Al Masoem Sumedang (lulus 1999)
Oleh CORNELIUS HELMY
Sumber: Kompas, 9 Maret 2020
No comments:
Post a Comment