Monday, September 2, 2019

Masroni Memanusiakan Benih Padi


KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA--Masroni diambil di lahan sawah Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Selasa (20/8/2019).

Masroni (47) rela meninggalkan empat kios dan sebuah rumah di tanah rantau demi mengembangkan pertanian di kampungnya di Desa Kalensari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dia memuliakan benih, menanam padi dengan hati.

Seorang aparat keamanan negara bertamu di rumah Masroni pagi itu, Selasa (20/8/2019). Kedatangannya meminta benih Indonesia Farmer (IF) 16 yang dikembangkan organisasi yang diikuti Masroni, Asosiasi Bank Benih Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Ketika dipanen di lahan desa sehari sebelumnya, produksinya mencapai 12 ton gabah kering panen (GKP), bahkan bisa lebih.


Jumlah itu hampir dua kali lipat dibandingkan varietas padi pada umumnya. Itu sebabnya, banyak yang tertarik dengan varietas hasil persilangan petani tersebut. Meskipun tidak menolak, Masroni belum bisa memberikan benih itu. Alasannya, benih harus didiamkan minimal dua minggu setelah panen. Setelah itu harus dijemur tiga hingga empat hari sampai kadar airnya mencapai 13 persen.

“Benih juga harus istirahat sebelum berkembang lagi. Ini konsep bertani dengan hati,” katanya. Konsep yang dimaksud bagaimana memperlakukan tanaman padi seperti manusia. Memanusiakan benih, jadi istilah populernya.

Koordinator Wilayah AB2TI Jabar ini juga mengharuskan siapa saja yang ingin menanam IF 16 memahami karakter benih tersebut. Salah satunya, tidak memaksakan menanam tiga kali setahun.

Katanya, seperti manusia, tanah juga perlu istirahat agar memutus siklus hama.
Jika tidak, hama membengkak karena makanannya, padi, tersaji terus menerus. Padahal, pemerintah kerap mendorong petani menanam tiga kali dengan alasan meningkatkan produksi.

KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA--Masroni diambil di lahan sawah Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Selasa (20/8/2019).

Aneka ragam
Kehadiran IF 16 dan varietas karya petani lainnya tidak dapat dilepaskan dari tangan Masroni. Pada April lalu, misalnya, kuwu (kepala desa) Kalensari ini bersama AB2TI menginisiasi Festival Padi di desanya. Festival yang kali pertama digelar ini menjadi ajang bagi pemulia padi unjuk gigi.

Saat itu, tercatat 360 varietas padi karya petani dari berbagai daerah mendaftar. Setelah diseleksi, terpilih 90 varietas berbeda yang ditanam di lahan desa seluas 9,5 hektar. Sawah itu seharusnya untuk pamong desa. Namun, mereka sepakat lahannya menjadi tempat festival. Pemdes juga mengalokasikan Rp 10 juta dari dana desa untuk festival. Hasil produksi varietas itu beragam, mulai 4,02 ton-14 ton GKP per hektar.

Festival itu bahkan mencetak dua rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia, yakni panen padi dengan varietas terbanyak dan menanak nasi di pawon terbanyak. Pemkab Indramayu yang mengelola 114.000 hektar sawah bahkan belum pernah mencetak prestasi serupa.

Bagi Masroni, penghargaan itu membuktikan bahwa petani mampu mandiri. Setidaknya, membikin benih padi sendiri. Selama ini, lanjutnya, petani hanya menjadi “pasar” perusahaan produsen benih.

Begitupun dengan pupuk kimia dan pestisida. Petani “dimanjakan” dengan bantuan pemerintah, dari benih hingga pupuk subsidi yang seharusnya bisa dibuat petani sendiri.

Awal menanam saja petani sudah tergantung produk pabrikan itu. Ini belum termasuk masalah jika bantuan tersebut salah sasaran atau tidak tepat waktu. Sayangnya, ketika panen, petani malah tak punya kuasa menentukan harga gabahnya. “Makanya, saya sepakat, subsidi itu pada output (hasil), seperti menaikkan harga gabah,” paparnya.

Ia juga menegaskan agar petani dapat mandiri. Katanya, petani sebaiknya tidak menggantungkan nasib pada orang lain, karena mereka juga mengutamakan nasibnya sendiri. Untuk itu, petani harus berilmu. Masroni ikut sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT), program Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sukabumi menjadi daerah awal program itu.

Bahkan, ia sempat menjadi ketua Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indramayu. Program pendampingan serupa sempat berjalan kembali awal 2000an yang diprakarsai Yayasan FIELD (Farmer’s Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy) Indonesia. Para petani dilatih membuat pupuk hingga benih.

Sukses merantau
Masroni dibesarkan pasangan Wahid (70) dan almarhumah Saroni, petani penggarap sekaligus peternak bebek. Masroni kecil kerap ikut ayahnya nyawah dan terlelap di gubuk dekat irigasi.

Awalnya, lulusan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin ini bercita-cita menjadi guru agama. Namun, ia tidak lulus seleksi masuk pendidikan guru agama. Garis tangannya membawanya ke Sekolah Pertanian Pembangunan Menengah Atas di Susukan, Cirebon.

Ia juga menegaskan agar petani dapat mandiri. Katanya, petani sebaiknya tidak menggantungkan nasib pada orang lain, karena mereka juga mengutamakan nasibnya sendiri. Untuk itu, petani harus berilmu. Masroni ikut sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT), program Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Keluar dari sana, ia harus kerja 8 bulan membangun tanggul Sungai Cisanggarung di Ciledug, Cirebon untuk modal kuliah di Universitas Winaya Mukti, Sumedang. Meskipun mata kirinya tak lagi berfungsi karena katarak sejak Kelas VI SD, Masroni mampu meraih sarjana pertanian.

Masroni yang tak punya lahan dan modal nyawah memilih merantau bersama temannya ke perbatasan Indonesia-Malaysia, yakni Entikong, Kalimantan Barat sekitar 2000. Di sana, ia jualan balon hingga perhiasan tembaga. Selama empat tahun usahanya sukses, punya empat ruko, sebuah rumah, dan tujuh anak buah di Malaysia.

Akan tetapi, petualangannya di sana berakhir saat ayahnya meminta dia pulang untuk bertani. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Masroni memilih meninggalkan segala pencapaiannya. Ia lantas mulai mengelola 1,5 hektar sawah yang dibeli dan kembali aktif mengikuti kegiatan pertanian bersama pemulia padi asal Kalensari, Warsiyah.

Kepulangannya memang dinantikan warga. Tahun 2008, Masroni terpilih sebagai kuwu. Bahkan, sekitar 1.120 warga kembali mendaulatnya sebagai pimpinan desa pada periode kedua. Kala itu, suara warga seakan bulat padanya. Istrinya terpaksa harus menjadi rivalnya karena tidak ada kandidat lain.

“Dengan jadi kuwu, saya lebih mudah menggerakkan masyarakat untuk bertani,” ucapnya. Sejak 2016, misalnya, Masroni membuat pelatihan pemulia padi, khususnya untuk pemuda. Sekitar 25 petani turut serta. Harapannya, petani muda mampu mandiri dan tidak bergantung dengan benih atau pupuk perusahaan.

Akan tetapi, kisahnya tak semulus jalan Desa Kalensari. Tidak hanya pemerintah, keluarganya pun sempat mencemooh. Ia dituding mau jualan benih hingga mengganti kebiasaan petani sejak era Orde Baru yang tergantung dengan pestisida. Ada pihak yang mengancam akan menginjam tanaman padinya dan tanaman padi milik petani lainnya.

“Enggak apa-apa. Saya fokus bertani saja dan mengajak anak muda bertani,” katanya. Saat ini, Masroni tengah mengembangkan jambu kristal di desa. Sekitar 700 bibit pohon jambu kristal ke lebih dari 300 rumah.

Mashadi (34), Kuwu Nunuk, Indramayu, mulai mengikuti jejak Masroni. “Kami telah menganggarkan dana desa untuk pelatihan pemulia padi bagi anak muda. Mumpung Pak Masroni masih ada. Jadi, bisa membagi ilmunya kepada petani muda,” katanya.

Masroni sudah memberi bukti. Di tengah tiupan angin kencang, ia ingin tetap berdiri menyakini apa yang ia pahami dengan benar.

Masroni
Lahir: Widasari, 7 Agustus 1972
Istri: Juharti
Pekerjaan: Kepala Desa Kalensari
Koordinator Wilayah AB2TI Jabar

MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Editor CORNELIUS HELMY HERLAMBANG

Sumber: Kompas,  3 September 2019

No comments:

Post a Comment