Wednesday, September 4, 2019

Suratno Menaikkan Pamor Bakau Pamurbaya

KOMPAS/IQBAL BASYARI--Suratno, petambak asal Surabaya

Suratno (46) bersama Kelompok Petani Tambak Truno Djoyo bekerja keras sejak 2011 untuk memulihkan ekosistem hutan bakau. Kehancuran lingkungan pesisir di Kelurahan Wonorejo, Rungkut, Kota Surabaya, seperti mimpi buruk. Dulu, kawasan ini menjadi sandaran hidup warga sekitar yang rata-rata bergantung pada hasil laut dan tambak.

Awalnya, Suratno, sang ketua kelompok petani, menanam bakau di sekitar Wonorejo, rumahnya. Namun, seiring waktu, penanaman meluas ke kelurahan dan kecamatan lainnya. Bibit-bibit bakau pada awalnya merupakan sumbangan dari perusahaan, kampus, dan organisasi pelestari lingkungan. Tak berselang lama, para anggota Truno Djoyo melibatkan berbagai kalangan, seperti mahasiswa, dosen, pegawai perusahaan donor, dan anggota kelompok pelestari, untuk turut serta dalam penanaman. Mereka semua menancapkan ulang bibit-bibit bakau di lahan yang rusak.


Sering juga, Suratno bersampan sendiri ke perairan sambil membawa bibit-bibit bakau. Dia menanami kawasan yang gundul. Selain itu, ia juga sekalian memulung sampah yang tak bisa didaur ulang agar pesisir Wonorejo bersih. Sedasawarsa terakhir, di luar mengelola tambak dan menafkahi istri yang menganugerahinya empat anak, Suratno rutin berkeliling perairan. Jebolan dua pondok pesantren ini memantau dan merawat bakau agar bakau benar-benar tumbuh dan hidup.

Setiap akhir pekan, ”masa libur” Suratno dan keluarga selalu diisi dengan berperahu bersama teman-teman. Mereka beramai-ramai membawa bibit-bibit bakau dan kantong sampah. Kecintaan dan ketulusan Suratno terhadap pelestarian lingkungan hidup Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) mengetuk pemerintah dan mengundang apresiasi banyak pihak. Pada 2017, ia dianugerahi penghargaan Kalpataru perintis lingkungan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Setahun kemudian, penghargaan serupa diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

”Saya tidak pantas menerima Kalpataru,” kata Suratno merendah dalam perbincangan, Senin (2/9/2019).

Menurut dia, penghargaan itu patut diberikan kepada Truno Djoyo dan perusahaan, kampus, dan organisasi lingkungan hidup yang selama ini membantu pemulihan Pamurbaya. Suratno merasa hanya percik dalam komunitas dengan semangat besar menyelamatkan perairan ini.

Namun, begitulah rata-rata sikap rendah hati kalangan pelestari lingkungan hidup. Mereka, termasuk Suratno, selalu merasa tak pantas menerima penghargaan. Padahal, perannya benar-benar diakui secara luas (lokal dan regional), bahkan diapresiasi. ”Saya sungguh tak mau melukai perasaan orang lain yang lebih pantas,” ujar lelaki yang akrab disapa dengan Cak Ratno itu.

Memori
Sebenarnya, kecukupan hidup menjadi memori yang selalu ingin diwujudkan oleh warga Kelurahan Wonorejo. Mereka ingin sejahtera kembali seperti dulu, ketika hutan bakau Pamurbaya merimbun. Namun, kemakmuran harus diwujudkan dengan pengorbanan, ikhtiar, kerja keras, dan upaya cerdas memulihkan kawasan mangrove dan keragaman hayati yang terlanjur rusak akibat pembangunan, perambahan, pemanfaatan tak lestari, dan pencemaran.

Mereka ingin kejayaan hidup seperti dirasakan oleh generasi lama ketika mendirikan kelompok tani tambak Minadon pada awal 1980. Ketika itu, sampai sedasawarsa kemudian, kehidupan keluarga lebih dari 50 anggota kelompok tercukupi dari panen tambak dan tangkapan biota perairan. Komunitas ini bahkan menjelma menjadi koperasi penyedia bibit udang windu, nener bandeng, dan perlengkapan peralatan pertambakan. Waktu itu, hutan bakau berfungsi sebagai batas tambak sekaligus pelindung dari abrasi ombak.

Meski demikian, hidup ternyata seperti pepatah: tiada gading yang tak retak. Seiring waktu, Minadon kehilangan kebesarannya. Satu per satu para tetua tutup usia. Regenerasi mandek. Organisasi berjalan tanpa visi mumpuni. Mitra pendampingan menjauh. Anggota Minadon tak lagi mampu menjalankan pemanfaatan dan budidaya tambak dan perairan secara lestari. Mereka jatuh dalam godaan merambah dan merusak hutan bakau.

Dalam keterpurukan, warga Wonorejo melihat kemunculan dan kedatangan berbagai kelompok baru yang ingin merehabilitasi kawasan mangrove. Namun, warga malah cemburu karena tak pernah dilibatkan.

Akhirnya, warga sadar harus terlibat dan mandiri dalam penyelamatan dan pemulihan Pamurbaya untuk menjamin kecukupan hidup kembali. Didampingi sejumlah lembaga swadaya masyarakat, jurnalis, dan pegiat lingkungan hidup, warga Wonorejo di awal milenium mengubah Minadon menjadi Kelompok Petani Tambak Truno Djoyo. Nama komunitas diambil dari asma sesepuh, yakni Mbah Widjo Truno. Diharapkan, generasi penerus tak pernah melupakan masa lalu mereka.

KOMPAS/IQBAL BASYARI--Suratno melestarikan hutan bakau yang mulai gundul di Pamurbaya sejak 2011.

Pamor
Sudah sejak lama, Pamurbaya dianggap bagian penting dari Surabaya. Salah satu buktinya adalah Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 23 Tahun 1978 tentang Master Plan Surabaya 2000 yang mendorong keberadaan hutan bakau Pamurbaya sebagai kawasan pelestarian atau dalam bahasa sekarang ruang terbuka hijau. Bahkan, menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Tata Wilayah Kota Surabaya, seluas 2.500 hektar wilayah Pamurbaya ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Status mentereng itu ternyata sekadar teks dalam dokumen. Petambak dan nelayan dibujuk terus-menerus oleh pemilik modal untuk melepas tambak dan tanah di sana. Akibatnya, tidak terhindarkan pembangunan fisik dan alih fungsi lahan.

”Penegakan hukum selalu tumpul saat masuk ke kawasan lindung Pamurbaya ini,” kata Suratno.

Di satu sisi, sebagai bagian dari masyarakat, Suratno sulit mencegah jika ada tetangga atau warga yang tergiur menjual tanah dan tambak ke pemilik modal. Namun, juga masih ada dan tidak sedikit yang ingin bersama-sama bertahan hidup dan percaya kemakmuran seperti era Minadon bisa kembali dari budidaya perikanan di Pamurbaya. Untuk itu, rehabilitasi menjadi kerja tak boleh berhenti.

”Kalpataru bagi saya adalah amanah untuk terus merawat Pamurbaya,” tekad Cak Ratno.

Mungkin sudah sejuta bibit mangrove ditanam oleh Suratno dan kawan-kawan untuk memulihkan Pamurbaya yang masih sakit. Sejuta mungkin sedikit dan belum jadi obat manjur pemulihan kawasan. Namun, semangat Suratno dan 64 anggota Truno Djoyo dalam pelestarian Pamurbaya diyakini jauh melampaui angka bibit bakau yang telah ditanam. Mereka masih percaya selalu ada kepiting, udang, ikan, dan kerang serta biota perairan lainnya yang bisa ditangkap demi kelangsungan dan kecukupan hidup keluarga mereka.

Suratno
Lahir: Surabaya, 19 Januari 1973

Pendidikan:
– SD Alkhoiriyyah Wonorejo
– SMP Albuhkori Rungkut
– Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah, Kemayan, Kediri
– Pondok Pesantren Miftahul Huda, Blitar

Penghargaan:
– Kalpataru Kota Surabaya 2017 Perintis Lingkungan
– Kalpataru Jawa Timur 2018 Perintis Lingkungan

IQBAL BASYARI/AMBROSIUS HARTO

Sumber: Kompas,  5 September 2019

No comments:

Post a Comment