KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG--Saraba (56), inisiator sekaligus pegiat konservasi mangrove di Lantebung, Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/9/2019).
Lantebung adalah satu-satunya hutan mangrove di Kota Makassar. Dengan luas sekitar 30 hektar, hutan mangrove di pesisir Selat Makassar ini bukan hanya oase bagi warga kota kala dirundung penat, tetapi juga pelindung permukiman warga dari ombak dan angin kencang.
Kalau saja Saraba (56) tak pernah mengajak warga menanam kembali magrove di Lantebung, tentulah keadaannya kini bakal jauh berbeda. Lantebung pernah dipenuhi mangrove dan kemudian habis ditebang oleh warga yang memerlukan lahan untuk membangun rumah. Belakangan, warga menebas mangrove agar lahannya bisa dijual kepada investor.
Didorong semangat menghijaukan kembali kampung dengan hutan mangrove, tahun 2006, Saraba mengajak beberapa tetangganya berkunjung ke Sinjai, 220 kilometer sebelah timur Makassar. Di sana, ada hutan mangrove Tongke-Tongke yang ditanam secara swadaya oleh warga. Saraba merogoh koceknya dan menyewa dua mobil untuk membawa tetangganya.
Di Tongke-Tongke, bapak tiga anak ini mengajak mereka melihat rimbun hutan mangrove yang melindungi perkampungan warga setempat dan sekaligus menjadi tempat wisata. Dia juga meminta Tayyeb sahabatnya, tokoh masyarakat yang juga menggagas penanaman mangrove di Tongke-Tongke, untuk berbicara soal mengrove dan berkisah tentang mengapa penanaman kembali mangrove harus dilakukan.
”Saya sudah beberapa kali berbicara dan mengajak mereka menanam mangrove, tapi hampir tak ada yang peduli. Sebagian bilang tak mungkin, ada yang bilang susah, dan banyak alasan lain. Jadi, saya berinisiatif membawa mereka ke Tongke-Tongke agar melihat sendiri dan mendengar langsung dari warga di sana bahwa tak ada yang tak mungkin bila ada kemauan. Mereka juga mendengar sendiri keuntungan jika permukiman dilindungi mangrove,” kata Saraba, suatu sore pada pertengahan September lalu di kawasan Mangrove Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG--Pemandangan matahari terbenam di kawasan Ekowisata Mangrove Lantebung di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/9/2019). Kawasan hutan bakau yang dikelola masyarakat itu menjadi salah satu ruang hijau alam yang langka di Makassar.
Saraba berkisah, kunjungan ke Tongke-Tongke itu akhirnya membuka mata warga bahwa bukan mustahil mengembalikan mangrove di Lantebung. Mereka juga jadi paham mangrove bisa melindungi permukiman mereka yang saban tahun rusak dihempas ombak atau angin kencang.
Dari Tongke-Tongke, Saraba juga membawa pulang 120.000 bibit mangrove. Mereka lalu menanam sedikit demi sedikit bibit itu. Agar penanaman lebih cepat, Saraba mengajak pihak Lantamal VI untuk ikut menanam.
Saraba yang pernah aktif berkegiatan di sejumlah LSM juga memanfaatkan jaringannya dan mengajak teman-temannya ikut membantu penanaman di Lantebung. Maka, pesisir Lantebung dengan cepat dipenuhi tanaman mangrove. Luasnya kini hampir mencapai 30 hektar. Ini bahkan jauh lebih rimbun dibanding era 70-an saat mangrove masih tumbuh di wilayah tersebut.
Habis dibabat
Sesungguhnya, mangrove bukan hal baru bagi warga Lantebung. Sebelum tahun 70-an, perkampungan warga yang berbatasan dengan pesisir Selat Makassar ini masih dihiasi mangrove. Tapi, lebih banyak hanya sebagai pembatas tambak atau patok pembatas tanah.
Saat Makassar mulai ramai dan warga Lantebung terus bertambah, mangrove mulai dibabat dan bekas lahannya digunakan untuk membangun rumah. Pembabatan dilakukan besar-besaran setelah kawasan tersebut kian berkembang. Warga mulai berpikir menjual tanah bekas mangrove kepada investor.
Saraba awalnya tak hirau dan memilih sibuk berkegiatan di luar. Dia terlibat aktif di sejumlah LSM dan beraktivitas di pulau-pulau di Selat Makassar. Bersama rekan-rekannya tahun 1994, Saraba mendirikan Yayasan Konservasi Laut dan aktif dalam kampanye soal laut dan terumbu karang terutama menyoroti rusaknya terumbu karang akibat penggunaan bom ikan.
Tahun 1996, Saraba sebenarnya diterima sebagai PNS di salah satu instansi. Tapi, karena merasa tak cocok, dia kemudian merantau dan mencari pengalaman ke Ambon. Pulang dari Ambon pada 1998, dia kembali dengan aktivitas bersama teman-temannya hingga kemudian tahun 2000 Yayasan Konservasi Laut bubar.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG (ENG)--Pengunjung menikmati suasana kawasan Ekowisata Mangrove Lantebung di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/9/2019). Kawasan hutan bakau yang dikelola masyarakat itu menjadi salah satu ruang hijau alami yang langka di Makassar.
Sempat vakum, Saraba kembali berkegiatan di beberapa LSM hingga suatu ketika dia menyadari bahwa kawasan permukiman di mana dia lahir makin terdesak oleh pembangunan dan hampir saban tahun mengalami bencana akibat empasan ombak maupun angin kencang.
”Karena rumah makin banyak dan mangrove hilang, lalu terjadi abrasi. Saat musim barat di mana ombak dan angin cukup kencang, rumah-rumah bisa rusak. Bahkan, pernah terjadi bencana cukup besar sehingga sebagian rumah warga rusak berat akibat angin dan ombak,” katanya.
Kejadian ini kemudian menyadarkan Saraba bahwa permukiman mereka tak lagi punya pelindung. Dia pun mulai mengajak warga menghijaukan kembali pesisir dengan mangrove. Awalnya, rencana ini tak ditanggapi. Berkat kegigihan Saraba, warga akhirnya berubah sikap.
Sukses menghijaukan kembali permukiman dengan mangrove, Saraba tak berhenti. Dia terus mengajak orang-orang menanam mangrove. Bukan hanya warga, melainkan juga berbagai pihak seperti pelajar, mahasiswa, LSM, berbagai perusahaan misalnya, menjadikan Lantebung sebagai laboratorium alam untuk menanam sekaligus belajar tentang mangrove.
Sejak 2017, Lantebung dibuka dan dikembangkan untuk wisata. Dengan uang masuk Rp 3.000, pengunjung bisa menikmati keteduhan hutan mangrove dan berjalan-jalan di jembatan warna-warni yang dibangun sebagai titian diantara tanaman mangrove. Pengunjung bahkan bisa menikmati matahari terbenam dengan suasana pantai yang sejuk dan tenang.
Bagi warga, ini adalah peluang mengembangkan berbagai kreativitas. Kelompok ibu-ibu, misalnya, memanfaatkan budidaya kepiting pada tanaman mangrove dan mengolah hasilnya menjadi beragam camilan. Sebagian mulai membangun kios-kios untuk menjual beragam jajanan dan juga untuk makan-minum. Adapun nelayan mengecat kapalnya berwarna-warni dan bisa disewakan pada pengunjung yang ingin berperahu.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG--Suasana di kawasan Ekowisata Mangrove Lantebung di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/9/2019). Kawasan hutan bakau yang dikelola masyarakat itu menjadi salah satu ruang hijau alami yang langka di Makassar.
Anak-anak dan pemuda Lantebung juga diajari membibitkan mangrove. Setiap orang, lembaga, perusahaan, dan siapa pun yang ingin menanam mangrove di Lantebung diwajibkan membeli bibit dari pembibitan yang dilakukan pemuda setempat. Harganya Rp 2.000 per bibit. Mereka juga diberi saran waktu yang tepat menanam mangrove.
”Di sini yang mudah tumbuh adalah mangrove jenis risovora dan avicennia. Waktu menanam yang bagus adalah Juli hingga Oktober. Dengan membeli bibit dari warga dan menanam sesuai waktu yang kami sarankan, tingkat keberhasilannya lebih tinggi. Warga atau pemuda di sini juga jadi punya penghasilan tambahan. Untungnya tak seberapa, tapi ini jadi penyemangat bagi mereka untuk tetap menjaga mangrove,” kata Saraba.
Saraba masih tak berhenti membuat mangrove di Lantehung tetap terjaga dan memiliki nilai tambah. Dia kini juga aktif menjadi pembicara atau berbagai dalam berbagai diskusi terkait budidaya dan manfaat mangrove.
Dia juga sedang memikirkan membuat minuman semacam jamu atau jus dari buah mangrove. Baginya, hanya dengan memiliki nilai tambah, mangrove di Lantebung akan tetap terjaga.
Saraba
Lahir: 25 September 1963
Istri: Khatijah
Anak: Asrawati, St Sarfiana Wati, Zulkifli, dan M Akbar.
Pendidikan:
SD Inpres Pagandonga, Makassar
SMPN 9 Makassar
SMA (ujian persamaan )
RENY SRI AYU & MOHAMAD FINAL DAENG
Sumber: Kompas, 16 Oktober 2019
No comments:
Post a Comment