Tuesday, October 8, 2019

Yohanes Lalang, Masa Depan di Lahan Kering

Musim kering panjang yang diikuti gagal panen rutin terjadi di Nusa Tenggara Timur. Yohanes Lalang tidak ingin menyerah dengan keadaan. Lewat serangkaian percobaan, ia bisa membuktikan di atas lahan kering bisa pula tumbuh tanaman subur. la melangkah lebih jauh dengan melatih lebih dari 1.500 anak muda untuk menggarap pertanian di lahan kering.

Kamis (38/10/2019) siang, Yohanes Lalang (56) mendampingi 50 siswa Jurusan Pertanian SMKN 1 Kabupaten Kupang yang mencoba bertani di lahan kering. Mereka mencoba memahami em bertani di lahan kering dan mengenal sifat tanaman yang cocok untuk dikembangkan di lahan itu. Ada beberapa tanaman yang memang benar-benar butuh perhatian khusus agar tumbuh dengan baik.

Kepada peserta pelatihan, Lalang mengajarkan mulai cara memahami kondisi tanah, teknik penyemaian, pemilihan bibit yang berkualitas, pemindahan bibit tanaman ke lubang tanaman permanen, pemupukan, pengamatan, pembasmian hama, hingga teknik penyiraman tanaman dengan sistem selang tetes yang lebih hemat air. Ia juga mengajari peserta membuat pupuk bokashi untuk menyuburkan tanah serta mengajarkan teknik okulasi dan grafting.


Siswa-siswa peserta pelatihan hari itu tampak antusias. Mereka memperhatikan hal-hal yang paling sederhana seperti cara mengikat batang kacang panjang yang tengah menjalar di cabang kayu kering. Tanaman itu ditanam sejajar mengikuti bedeng.

Pelatihan hari itu merupakan pelatihan rutin yang digelar Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Abdi Laboratus, di Tarus, Kupang, sejak 2006. Namun, lembaga itu baru mendapat pengakuan sebagai pusat pelatihan (magang) dengan klasi si madya dari Menteri Pertanian 2013.

Hingga September 2019, ia telah membuat 30 kali pelatihan yang melibatkan 1.540 siswa SMK, mahasiswa, dan pemuda gereja. Dari 1.540 peserta pelatihan, LO50 orang di antaranya telah memiliki lahan pertanian sendiri. Di antara mereka juga ada yang tertarik menekuni pertanian ataupun peternakan di perguruan tinggi.

Bagi peserta magang dari kelompok siswa SMK dan pemuda dari gereja, Lalang memberikan motivasi kepada mereka soal keuntungan dari profesi hidup sebagai petani lahan kering. Ia memberikan contoh sejumlah petani yang sukses di bidang pertanian lahan kering, khusus tanaman hortikultura, termasuk dirinya. Petani mampu membangun rumah mewah, menyekolahkan anak, membeli kendaraan roda empat, dan tidak sulit mendapatkan uang.

Terus mencoba
Lalang terpanggil menjadi petani lahan kering sejak 2005 setelah membaca berita soal gagal panen yang dialami hampir semua petani di NTT akibat musim kering yang panjang, yakni rata-rata sembilan bulan dalam setahun. Umumnya, tanaman yang mengalami gagal panen adalah padi gogo, jagung, dan umbi-umbian. Peristiwa gagal panen seperti itu sering kali menjadi penyebab terjadinya bencana rawan pangan dan gizi buruk di NTT.

Lalang merasa gagal panen seharusnya tidak perlu terjadi meski musim kering biasa terjadi di NTT. Ia berpikir pasti ada jalan lain untuk menyiasati keadaan. Ia pun pergi ke Toko Buku Gramedia Kupang untuk membeli buku-buku tentang pertanian. Ia pelajari isinya dan coba ia terapkan. Dari situ ia tahu, petani seharusnya tidak bergantung pada satu-dua jenis tanaman saja seperti padi.

Setahun kemudian, ia mencoba menanam berkebun hortikultura seperti sawi, tomat, cabai, bayam, kol, dan beberapa jenis bumbu dapur di 10 bedeng di pekarangan belakang rumahnya seluas 500 meter persegi. Bedeng yang dimaksud adalah tanah gembur yang ditinggikan sebagai pematang sawah dan ditutupi plastik untuk ditanami sayuran.

Ternyata dengan teknik yang tepat, pertanian di lahan kering tetap bisa dilakukan. Singkat cerita, percobaan Lalang berhasil. "Satu kali panen untuk lima jenis tanaman itu saya dapat uang Rp 45 juta. Dalam satu tahun saya bisa panen tiga kali. Ini memacu saya untuk terus bertani dan ingin berbagi pengalaman kepada petani sekitar mengenai keuntungan dari bertani tanaman hortikultura, bumbu dapur, dan buah-buahan,”kata Lalang.

Ia pun membentuk lima kelompok tani yang melibatkan sejumlah tetangganya. Ia memberikan pemahaman kepada mereka tentang bertani yang sukses. Tanaman hortikultura yang dikembangkan di sekitar rumah itu lantas dijadikan contoh bagi kelompok tani lain untuk belajar. Ia menekankan bahwa pertanian di lahan kering juga bisa menghasilkan uang yang bisa menjamin kesejahteraan petani.

"Satu bedeng lahan dengan panjang 35 meter dan lebar 50 sentimeter itu bisa ditanami tiga kali dalam setahun. Sekali tanam pertama tomat, hasilnya bisa sampai Rp 27 juta, tiga kali tanam jadi Rp 81 juta. Tomat dan sejenisnya diambil sendiri pedagang pasar di lokasi ini, belum termasuk cabai, sawi, kacang panjang, dan brokoli diatas 24 bedeng lain,” kata Lalang dengan nada gembira.

Ia kemudian menambah jenis sayur-mayur yang ditanam dan punya nilai tinggi di pasar seperti
bawang merah, wortel, buncis, dan kacang panjang. Seiring waktu, pertanian yang dikembangkan Lalang di pekarangan rumahnya terus berkembang dari semula 10 bedeng menjadi 25 bedeng. Bedeng pertanian itu berukuran panjang antara 15 meter dan 40 meter serta lebar 0,5 meter. Saat ini, lahan pertanian Lalang sedang dijadikan pusat penelitian oleh seorang dosen dari Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Sebelumnya sudah ada 15 dosen dan 35 mahasiswa fakultas pertanian dari beberapa perguruan tinggi di Kota Kupang melakukan penelitian di tempat yang sama.

Lalang selalu memberikan masukan dan pandangan kepada para peneliti soal sistem pertanian di lahan kering. Ia menilai, buku-buku pertanian yang ditulis para ahli pertanian di Jawa dan daerah lain belum tentu dapat diterapkan di pertanian lahan kering seperti NTT karena perbedaan cuaca dan kondisi tanah. Tidak seperti di Jawa, di NTT musim kering bisa berlangsung sembilan bulan. Tanah di NTT selain kering juga sebagian besar berupa batu karang. Lalang mendorong peneliti untuk menulis buku pertanian dengan latar belakang pertanian lahan kering di NTT.

Motivasi
Setelah sukses menanam sayur-mayur, Lalang merambah ke tanaman keras seperti jeruk, pepaya, sawo, mangga, kelapa hibrida, dan cendana. Ia mencoba memproduksi bibit tanaman tersebut.Ternyata Pemerintah Kabupaten Kupang, Rote Ndao, dan Timor Tengah Selatan tertarik membeli ribuan bibit tanaman keras yang dihasilkan Lalang untuk proyek penghijauan. Bibit dibeli dengan harga Rp 2000-Rp 3.000 per batang bibit. Hal itu sekaligus membuka kerja sama lebih luas dengan pemerintah kabupaten. Lalang bersedia menerima siswa SMK jurusan pertanian dan perkebunan di P4S Abdi Laboratus.

Sekitar tiga tahun yang lalu, P4S Abdi Laboratus mendapat perhatian dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Bantuan antara lain berupa aula serbaguna, satu unit sumur bor sedalam 166 meter, pendidikan dan pelatihan atau diklat dua paket (angkatan) dengan jumlah masing-masing angkatan 50 orang. "Ini satu-satunya bantuan yang saya terima setelah 13 tahun P4S berdiri,”kata Lalang yang bersyukur dengan bantuan itu.

Bantuan itu, lanjut Lalang, akan ia gunakan untuk terus mengembangkan pelatihan pertanian di lahan kering. Buat Lalang, pelatihan bukan sekadar untuk mengajarkan teknik bertani: lebih penting dari itu, untuk memotivasi dan menyadarkan masyarakat terutama anak muda bahwa sektor pertanian masih memiliki masa depan cerah.

Ia mencontohkan para petani yang sukses di bidang pertanian lahan kering, "Mereka mampu membangun rumah yang bagus, menyekolahkan anak, membeli kendaraan roda empat, dan tidak sulit mendapatkan uang. Jadi, jangan hanya bermimpi menjadi PNS,” tegas Lalang.

Yohanes Lalang

Lahir: Kedang, Lembata, 17 Agustus 1963

Istri: Bibiana Boleng

Anak: Benediktus Robby Rattu (31) dan Agustinus Ary Lewakapu (16)

Pendidikan terakhir: Semester V Fakultas Petemakan Universitas Nusa Cendana Kupang

Pekerjaan: Petani lahan kering

Jabatan: Direktur P4S Abdi Laboratus

Kornelis Kewa Ama

Sumber: Kompas, 9 Oktober 2019

No comments:

Post a Comment