KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG--Abah Karun di bengkel perahunya di tepian Sungai Citarum di Kampung Mekarsari, Baleendah, Kabupaten Bandung, Bandung, Senin (23/12/2019).
Di usia senja, Abah Karun (61) tak kehilangan semangat mengasah keahliannya membuat perahu kayu. Sudah puluhan tahun, perahu-perahunya memberi dia sejahtera sekaligus ikut memperpanjang nafas penyintas banjir Citarum.
Gubuk di Kampung Mekarsari, Baleendah, Kabupaten Bandung, itu sulit disebut bengkel perahu. Berukuran 6 meter x 4 meter, tempat itu jauh dari layak. Tanpa dinding, hanya ada empat tiang bambu reyot menyangganya. Atapnya tumpukan spanduk bekas yang sudah bolong disana sini.
Akan tetapi, Abah Karun tak terganggu dengan keterbatasan itu. Di sisi Sungai Citarum, dia tekun mengerjakan proses akhir salah satu perahu kayu buatannya di akhir Desember 2019. Perahu kayu suren berukuran 5,5 m x 1,15 m dengan tinggi 45 sentimeter itu pesanan salah satu instansi pemerintah di Kabupaten Bandung.
“Dikerjakan sejak dua hari lalu, perahu ini sudah hampir selesai. Tinggal sehari lagi untuk dirapikan. Rencananya, perahu ini akan disiapkan mengevakuasi warga saat banjir datang,” katanya.
Dilintasi Sungai Citarum, sebagian daerah di Kabupaten Bandung rawan direndam banjir setiap musim hujan tiba. Setidaknya ada tiga daerah langganan banjir. Selain Baleendah, banjir hingga 2 meter kerap merendam Dayeuhkolot dan Bojongsoang.
Siang itu, yang menjadi titik perhatiannya adalah memastikan lem perahu merekat erat di berbagai sambungan antar kayu. Jemarinya yang kokoh lincah menekan lem racikannya sendiri itu. Selepas itu, giliran kekuatan rangka perahu yang ia lihat dengan teliti. Rangka jadi bagian vital menopang tubuh perahu. Bakal digunakan masuk keluar gang saat banjir datang, perahu harus kuat saat menabrak tembok atau pagar besi.
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG--Abah Karun di bengkel perahunya di tepian Sungai Citarum di Kampung Mekarsari, Baleendah, Kabupaten Bandung, Bandung, Senin (23/12/2019).
“Ada pasak kayu yang saya pasang untuk menguatkan rangka. Itu harus benar-benar kuat agar perahu bisa tahan lama,” katanya. Abah Karun menjamin, perahunya bisa awet hingga 5-6 tahun sebelum masuk bengkel untuk perbaikan.
Ketangguhan perahu Abah Karun sudah dibuktikan Bambang Supriyanto (54), Ketua RW 013, Andir, Kabupaten Bandung. Sejak setahun lalu, ia punya satu perahu kayu buatan Abah Karun untuk evakuasi warga hingga penyaluran logistik penyintas banjir.
“Sulit mengandalkan perahu karet di sini. Medannya terlalu sempit. Selain itu, harganya yang di atas Rp 3 juta tapi hanya menampung sedikit orang juga jadi masalah. Lebih ideal pakai perahu kayu. Harganya di bawah Rp 2 juta dan bisa mengangkut lima orang. Ilmu perahu Abah Karun membantu kami menghadapi banjir,” katanya.
Warisan keluarga
Perjalanan menjadi perajin paling senior di cekungan Bandung terbilang panjang. Ilmu perahu, kata Abah Karun, adalah warisan keluarga. Kakeknya, almarhum Aki Parta adalah pionir pembuatan perahu. Letak bengkelnya persis dengan bengkel Karun saat ini.
“Kemampuan itu turun ke ayah saya, almarhum Aki Uke. Karya mereka berhasil membuat perahu yang diminati konsumen sampai sekarang,” kata dia yang belajar membuat perahu ke kawasan Ciburuy (Kabupaten Bandung Barat) hingga Cileunyi (Kabupaten Bandung).
Ia mencontohkan saat mereka memopulerkan perahu berbentuk kopiah. Dindingnya dibuat nyaris tegak lurus. Tujuannya, memudahkan pemiliknya mengangkut beragam barang. Meskipun masih digunakan sebagai alat angkut manusia, perahu ini paling banyak digunakan pengggali pasir di Citarum.
Ada lagi, perahu khusus waduk di Jabar. Bentuknya lebih lancip dengan tubuh ramping. Selain memecah arus deras, perahu itu efektif membelah rimbun eceng gondok yang tumbuh subur seperti di Waduk Jatiluhur atau Waduk Saguling. “Ilmu itu saya serap dan simpan dalam kepala. Sejak tahun 1976, saya mulai berani terima pesanan sendiri,” katanya.
Tidak hanya membuat perahu, dia juga belajar memilih pohon suren bakal bahan kayu terbaik. Selain usia lebih dari belasan tahun, ia hanya menggunakan kayu dari pohon yang berpucuk hijau. Bila pucuknya mengering, ia pastikan pohon tengah keropos.
Warga menggendong anaknya saat menaiki perahu untuk melintasi banjir di Kampung Andir, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/12/2019)
“Kayu dari pohon yang bagus juga keliatan. Biasanya seratnya padat, warna kemeraham, dan berminyak kalau disentuh,” kata Abah Karun yang selalu meminta pemilik kayu kembali menanam pohon yang sama setelah menebang.
Kemampuan yang lengkap itu mengantarkannya pada banyak konsumen. Selain kualitas, harga jualnya relatif terjangkau, antara Rp 1,75 juta hingga Rp 9 juta per unit bergantung ukuran.
Ia mengakui, pesanan perahu biasanya datang jelang banjir. Tahun 1986, ketika banjir besar Citarum mulai muncul, total ia membuat sekitar 400 perahu dalam setahun. Selain warga penyintas banjir, pembelinya juga nelayan hingga penggali pasir di sekitar aliran Citarum di Purwakarta hingga Sungai Cimanuk di Garut dan Sumedang. “Saya sudah lupa berapa banyak perahu yang sudah saya buat,” ujarnya.
Meski tak sebanyak dulu, tren itu kini masih terjadi. Bila saat kemarau, Abah Karun nyaris tak punya konsumen. Baru jelang musim hujan, ia bisa membuat antara 10 perahu per bulan. Paling banyak, kata Abah Karun tetap perahu untuk evakuasi banjir.
“Ini sudah dua bulan belum ada yang pesan perahu. Tahun ini, prediksi saya bakal ramai pesanan di Januari-Februari. Kalau lihat angin yang bertiup sekarang, hujan derasnya turun Februari-Maret,” kata Abah Karun memperlihatkan kemampuan membaca angin pembawa hujan.
Usia senja
Akan tetapi, Abah Karun menegaskan, tak pernah sekalipun berdoa berharap banjir. Berharap banjir demi mendapat penghasilan besar bukan sikap yang bijaksana. Ia tahu banyak orang yang hidupnya kesulitan saat banjir datang. Atas dasar itu juga Karun mengatakan, tak segan memberikan perahu gratis asalkan digunakan untuk mengevakuasi warga terdampak banjir. “Ada perasaan bahagia bila perahu buatan saya bisa meringankan beban warga korban banjir,” katanya.
Kini, sadar usianya tak lagi muda, Abah Karun mulai menyiapkan masa depan. Sejumlah cara dilakukan agar ilmu perahu Citarum tetap hidup. Salah satunya menggembleng Dadang (39), satu dari enam anaknya.
“Saya sudah mampu membuat perahu sendiri. Sudah Beberapa kali dia membuat perahu untuk konsumen di sekitar Waduk Saguling,” kata dia.
Mahasiswa dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi yang datang padanya juga selalu disambut ramah. Selalu ada jawaban ramah bagi mereka yang bertanya tentang proses pembuatan perahu. Abah Karun berharap, hasil penelitian itu bisa membuat ilmu perahu Citarum tetap abadi.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA--Sejumlah perahu disiapkan untuk mengantarkan warga melewati Jalan Anggadireja yang tergenang banjir di Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Rabu (10/4/2019). Selain merendam ribuan rumah, banjir akibat luapan Sungai Citarum itu juga menggenangi sejumlah ruas jalan sehingga tidak dapat dilalui kendaraan bermotor.
Tidak hanya itu, dia juga tengah memperjuangkan pendirian koperasi perahu pada Pemerintah Desa Baleendah. Semoga, kata Abah Karun, koperasi bisa mendorong ilmu perahu Citarum semakin berkembang lewat jaminan modal dan metode penjualan yang tepat. Pesan orang tuanya juga selalu jadi semangat. Rezeki selalu datang pada orang yang setia.
“Teruskeun nyien parahu. Duit mah teu kudu di teang engke oge datang sorangan (Teruskan membuat perahu. Uang tidak perlu dicari nanti datang sendiri),” kata Karun menirukan pesan ayahnya.
Dengan segala kisah yang telah dijalani Abah Karun, ilmu perahu Citarum jelas terlalu berharga untuk mati. Tidak hanya membantu banyak orang hidup layak tapi juga membantu banyak manusia memperpanjang harapan saat banjir datang lagi.
Karun
Lahir: Bandung, 7 Mei 1958
Oleh CORNELIUS HELMY
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 9 Januari 2020
No comments:
Post a Comment