KOMPAS/ARLINTA DEONISIA--Ellias Yesaya
Setelah 20 tahun merantau, Ellias Yesaya kaget melihat adat istiadat sukunya, Dayak Lundayeh, mulai luntur. Ia pun bergerak menggali adat istiadat Dayak Lundayeh dan mengajak warga sesukunya untuk menjalaninya kembali.
Kerinduan pada hutan dan budaya Dayak Lundayeh memanggil Ellias Yesaya (57) untuk pulang ke desanya di Terang Baru, Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Namun, ia menemui kenyataan budaya sukunya sudah mulai tergerus zaman. Ia berusaha keras menggali budaya dan kearifan lokal sukunya untuk diterapkan lagi di zaman sekarang.
Ellias pulang kampung setelah 20 tahun meninggalkan desanya untuk sekolah dan bekerja di Tarakan, Kalimantan Timur. Ketika ia memutuskan pulang ke desa, banyak kawannya bertanya, “Kamu ngapain kembali ke masa lalu?”
“Kadang-kadang saya bertanya balik ke kawan saya, mengapa kamu berkata begitu? Saya bermaksud baik, saya sedang berusaha memperkuat identitas suku saya yang mulai luntur dan suatu saat bisa hilang. Apa kamu mau dibilang orang Brunei? Lundayeh itu begini, kita berdiri di atas tanah adat, harus bersikap sebagai orang Lundayeh, itulah identitas saya. Kita harus punya sikap” tegas Ellias ketika ditemui di Jakarta, Desember 2019 lalu.
Ellias mengaku bangga dengan identitasnya sebagai orang Dayak Lundayeh yang hidup di dataran tinggi Borneo . Karena itu, ia merasa harus bersikap sebagaimana orang Lundayeh. Namun, pada titik itu pula ia sedih dan cemas lantaran melihat banyak warga Lundayeh tak paham lagi kearifan lokal sukunya.
“Sikap asli orang dayak yang suka bergotong royong, malu melanggar aturan, pekerja keras nyaris hilang. Lalu, tradisi gotong royong itu mulai hilang berganti dengan egois, materialistis ,” tutur anak ketiga dari 10 bersaudara itu.
--Ellias Yesaya sedang memainkan alam musik ruding dari sayatan bambu pada Desember 2019 dalam acara Panen Raya Nusantara di Jakarta.
Berangkat dari sana, sejak tahun 2011 lelaki yang kerap memakai baju khas Dayak Lundayeh itu berusaha menggali lagi adat dan budaya sukunya. Ia bertanya ke banyak tetua di desanya soal musik, cerita lisan, cara membuat gerabah, hingga soal cara hidup orang Dayak Lundayeh. Tak banyak yang bisa menceriterakan secara lengkap apa yang ia tanyakan, namun para tetua yang umumnya berusia 80-an tahun itu senang melihat ada warga Lundayeh yang ingin menggali lagi seni budaya mereka.
Tidak hanya bertanya, Ellias juga berusaha mengingat lagi kehidupannya ketika kecil untuk melacak gaya hidup sukunya di masa lalu. Ia menceritakan, ketika kecil senang bermain seruling dan ikut latihan menyanyi dan menari di sekolah. “Saya curi seruling kakak. Saya bawa seruling ke ladang, sambil menggembala itik saya latihan sendiri,” tuturnya.
Belajar notasi musik sejak kecil membuat dia mudah menangkap suara alam, burung di sekelilingnya. Suara itulah yang kini ia tirukan lewat permainan seruling panjangnya, yakni keng dan ruding. Keng dimainkan dengan cara diketuk ke tangan atau paha, sedangkan ruding ditiup.
Menular
Seiring waktu, Ellias pelan-pelan mengumpulkan benda-benda masa lalu yang biasa digunakan sukunya. Dengan dukungan penuh keluarga, ia kemudian membangun rumah kayu sederhana untuk menampung benda-benda itu. Tempat itu juga ia pakai untuk mengenalkan musik dan tarian kepada anak-anak di desanya.
Sekitar tahun 2011, Cristina Eghenter dari WWF Indonesia melihat kiprah Ellias. Cristina lantas meminta WWF membantu Ellias lewat Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (Formadat). Formadat merupakan wadah komunikasi warga suku Dayak Lundayeh baik di Indonesia maupun Malaysia. WWF memberi dukungan keuangan untuk membangun sekolah budaya lapangan di atas lahan seluas lima hektar yang didonasikan warga.
Di tengah lahan itu berdiri bangunan rumah panjang khas suku Dayak untuk menyimpan aneka perabotan tradisional sehari-hari seperti gerabah, topi, dan tas dari anyaman rotan untuk berladang. Ellias lantas memusatkan kegiatan latihan seni musik, tari, dongeng, dan kearifan Dayak Lundayeh untuk anak-anak muda di rumah panjang itu. Dengan cepat, ia berhasil menularkan demam budaya Dayak Lundayeh kepada warga sesuku.
--Ellias Yesaya dengan keng, alat musik dari ujung galah bambu di tangannya, Desember 2019 lalu di Jakarta.
Salah seorang anak didik Ellias bahkan membawa seni musik Dayak Lundayeh ke kampusnya Universitas Mulawarman Samarinda. Ia kerap memainkan seruling Dayak Lundayeh dengan rasa bangga di kampus itu.
Selain aktif mengingatkan kembali warga sesuku untuk menggali kearifan lokal, Ellias juga aktif mengenalkan budaya Dayak Lundayeh ke berbagai forum internasional. Sejak 2014, ia rutin mengikuti pertemuan seni budaya dan pangan seperti Ark of Taste pada Slow Food Internasional. Pertengahan Oktober 2019 lalu, ia mengikuti Slow Food Nippon di Sapporo, Jepang. Di sana ia memperkenalkan seruling tiga lubang sepanjang satu meter yang sebenarnya adalah ujung galah untuk memetik buah.
“Saya juga diundang ke Rusia dan Amerika untuk memainkan musik milik Dayak Lundayeh. Saya mau saja asal disediakan tiket dan penginapan karena saya tak punya uang. Selama ini saya pergi-pergi karena dibiayai oleh WWF, baik Indonesia maupun Malaysia,” ujar Ellias.
Ia juga mengenalkan beras adan, beras lokal bertekstur pulen yang ditanam secara organik. Kini beras khas Krayan itu sudah masuk daftar Ark of Taste” katalog internasional makanan warisan langka yang dikelola oleh gerakan Slow Food global.
Ellias mengatakan, langkahnya untuk memperkenalkan budaya Dayak Lundayeh baik di Indonesia maupun Malaysia masih panjang. Ke depan ia ingin mendirikan sanggar tari yang benar-benar dibina dengan baiki Ia juga merasa punya tanggung jawab lain yakni menjaga kekayaan hayati Kalimantan seperti 60-an spesies anggrek langka, tanaman obat, dan lainnya.
Semua itu, Ellias lakukan untuk menjaga identitas dan rasa bangga orang Dayak Lundayeh.
Ellias Yesaya
Lahir: Krayan, Februari 1962
Pendidikan:
SD Wa’ Laya’ Krayan
SMP Long Bawan Krayan
SMA Mulawarman Tarakan
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tarakan (lulus 1997)
Jabatan: Ketua Tim Management Cultural Field School- Formadat Krayan
Oleh DEONISIA ARLINTA DAN SOELASTRI SOEKIRNO
Editor: BUDI SUWARNA
Sumber: Kompas, 27 Januari 2020
No comments:
Post a Comment