Sri Mahanani Budi Utomo menunjukan kecintaannya pada Bengawan Solo dengan melestarikan daerah bantaran sungai. Dengan melibatkan masyarakat dan sukarelawan, Budi menanam akar wangi dan membuat biopori.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA--Sri Mahanani Budi Utomo merawat bantaran sungai Bengawan Solo dengan menanam akar wangi dan membuat biopori.
Sri Mahanani Budi Utomo (44) yang lahir dan besar di pinggiran sungai Bengawan Solo menyadari risiko bencana banjir yang selalu mengintai. Ia pun terjun sebagai relawan siaga bencana dan aktif merawat bantaran sungai itu dengan menanam akar wangi.
Saat ini sudah ada ribuan rumpun akar wangi atau rumput vetiver tumbuh di bantaran Bengawan Solo di Kelurahan Sewu, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah. Tanaman yang berfungsi mencegah erosi dan longsor bantaran sungai itu ditanam Budi bersama para sukarelawan. “Penanamannya dimulai sejak 2016 untuk mitigasi bencana,” kata Budi, Ketua Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat) Palang Merah Indonesia (PMI) Kelurahan Sewu di Solo, Selasa (4/2/2020).
Awalnya, Budi memulai kiprahnya sebagai sukarelawan Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (PBP) Solo tahun 2006. Ia mulai tergugah menjadi sukarelawan ketika masih kecil.
Saat itu, ia melihat para sukarelawan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo tengah berupaya mencari seorang anak yang terseret arus sungai Bengawan Solo di Sewu. Tahun 2007, banjir besar melanda Solo, termasuk kampung halamanya karena luapan Bengawan Solo. Peristiwa itu kian menyadarkannya tentang pentingnya mitigasi bencana.
Tahun 2015, Budi bergabung mengikuti program masyarakat tangguh banjir (Community Flood Resilience) yang dilaksanakan secara kolaboratif oleh Palang Merah Indonesia (PMI), International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC-Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit), Zurich Insurance, dan Pemerintah Kota Solo.
Ia terpilih sebagai Ketua Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (Sibat) PMI Kelurahan Sewu yang kemudian lebih dikenal sebagai Sibat Sewu.
Sejumlah program pengurangan risiko bencana digarap Sibat Sewu, antara lain membuat 28 sumur resapan dan sekitar 400 biopori di Sewu. Pembuatan sumur resapan dan lubang biopori ini tidak mudah karena hampir tidak ada lagi lahan terbuka.
“Banyak kendala dihadapi karena jalan kampung sebagian besar sudah dicor atau dipaving. Di sini juga padat penduduk sehingga minim ruang kosong,” kata Budi yang tempat tinggalnya membelakangi tanggul Bengawan Solo dan berjarak sekitar 50 meter dari bibir sungai.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA--Sri Mahanani Budi Utomo
Melibatkan masyarakat
Pada 2016, Budi bersama para sukarelawan Sibat Sewu menanam 1.000 rumpun akar wangi untuk sabuk hijau di sepanjang bantaran Bengawan Solo di Sewu. Bantuan bibit berasal dari PMI yang menjalin kerja sama dengan IFRC serta Zurich Insurance. Jumlah yang ditanam terus ditambah. Penanamannya tak hanya dilakukan para sukarelawan Sibat Sewu, tetapi juga mengajak para pelajar SMP dan SMA. Ini untuk menanamkan kepedulian lingkungan kepada anak-anak muda.
Selain di Sewu, akar wangi juga ditanam di sepanjang bantaran sungai Bengawan Solo oleh sukarelawan Sibat PMI di wilayah Kelurahan Sangkrah, Semanggi, dan Pucang Sawit, Solo. Sayangnya, pada 2017 sebagian tanaman akar wangi di Sewu rusak berat akibat aktivitas alat berat ketika pembangunan revetment (tembok penguat tebing sungai) Bengawan Solo.
Budi menyelamatkan sebagian akar wangi agar bisa ditanam ulang. Ia juga mencari tambahan bibit di bantaran Bengawan Solo di Semanggi. Meskipun untuk kepentingan pengurangan risiko bencana, diakui Budi, tidak mudah mengajak warga bersama-sama menanam tumbuhan tersebut.
“Ketika kami mau membuat sabuk hijau akar wangi di pinggir Bengawan, itu kan harus membuka lahan semak belukar, nah kami mengajak warga. Tapi, mereka berpikirnya kami dibayar. Padahal tidak. Yang sadar saja akhirnya yang gerak,” katanya.
Kini kesadaran warga tumbuh. Gerakan menanam akar wangi berkembang. Pada November 2019 lalu, Sibat PMI Solo bersama warga, mahasiswa UNS, termasuk mahasiswa asing yang sedang menempuh studi di UNS, ramai-ramai menanam akar wangi di bantaran Bengawan Solo di Semanggi yang sebelumnya mengalami kerusakan karena terbakar. Anak-anak SD juga diajak menanam di bantaran Bengawan Solo di Sewu.
Upaya pengurangan risiko bencana lain juga dilakukan Budi bersama Sibat Sewu dengan menggerakkan dan memberdayakan warga agar tahu apa yang harus mereka lakukan ketika terjadi bencana banjir. Jalur evakuasi juga dibuat.
“Dulu ketika terjadi banjir luapan Bengawan Solo, masyarakat yang kebanjiran hanya sebatas mengungsi sendiri-sendiri ke atas tanggul, selesai gitu aja. Sekarang penanganannya menjadi lebih terkoordinasi dengan baik,” tuturnya.
Budi juga memanfaatkan media sosial Facebook untuk mengajak masyarakat terlibat dalam kegiatan tersebut. Melalui akun Posko Sibat Sewu, kegiatan pengurangan risiko bencana kerap disosialisasikan. Warga diajak lebih mencintai sungai. Media sosial itu juga digunakan untuk melawan hoaks seputar ancaman banjir Bengawan Solo yang kadang menyebar di masyarakat.
Karena kiprah kerelawananya di Sibat Sewu, Budi dianugerahi penghargaan sebagai Kampiun Utama Duta Sibat PMI Tingkat Nasional Putra pada saat acara Temu Sibat Nasional II 2017 yang digelar PMI. Sibat Sewu yang dipimpinnya juga memperoleh penghargaan Kampiun Inovator Madya bidang Pengelolaan Ekosistem dan Pelestarian Lingkungan Hidup dari PMI.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA--Untuk merawat Bengawan Solo, Sri Mahanani Budi Utomo mengajak masyarakat terlibat kegiatan pelestarian lingkungan.
Budi juga aktif dalam berbagai kegiatan bersih sungai di Solo. Bersama rekan-rekanya di Pekarya Sungai Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, ia rutin membersihkan sampah yang mengotori sungai-sungai di Solo, di antaranya Kali Pepe, Premulung, Kali Kebo, dan Bengawan Solo. Ribuan popok sekali pakai kerap ditemukan Budi mengotori sungai. Bahkan, ada juga kasur yang dibuang di sungai. “Yang paling parah di Kali Kebo. Kami membersihkan ratusan bahkan ribuan popok dibuang di bawah jembatan,” katanya.
Banyaknya popok dibuang ke sungai karena adanya mitos popok harus dibuang dalam kondisi basah dan tidak boleh dibakar. Dikhawatirkan bayi akan gatal dan kulitnya terasa panas seperti terbakar. Ada juga mitos membuang barang bekas ke sungai untuk menghilangkan sial. Kasur, bantal hingga pakaian orang yang baru saja meninggal, misalnya, dilarung alias dibuang ke sungai. “Persoalan ini butuh pendekatan budaya atau agama untuk mengedukasi masyarakat. Tidak cukup dari aktivis lingkungan,” katanya.
Budi mengaku mendambakan sungai yang bersih. Ia teringat kenangan indahnya semasa kecil. Di masa itu, bantaran Bengawan Solo menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Ia berangan-angan menjadikan bantaran Bengawan Solo ruang publik baru bagi anak-anak untuk bermain, berolahraga warga, maupun sekadar bersantai. Angan-angan itu perlahan mulai diwujudkannya.
Sebagai awalan, tembok penguat tebing sungai dibersihkan dari semak belukar agar bisa menjadi jogging track ataupun untuk berjalan kaki. Area kebun akar wangi di bantaran Bengawan Solo di Sewu kini dipasangi dua buah buis beton dan dua box culvert (beton pracetak saluran air) untuk tempat duduk dan meja. “Di sini kita bisa menikmati keindahan sungai Bengawan Solo,” ujarnya.
Sri Mahanani Budi Utomo
Lahir : Solo, 31 Juli 1975
Pendidikan:
– SD Negeri Beton 183 Solo
– SMPN 14 Solo
– SMA Karyawan Solo hingga kelas II (tidak lulus)
Anak : 2
Istri : Reni Ida Susanti (45)
Pekerjaan : Usaha rumahan penyablonan kaos
Oleh ERWIN EDHI PRASETYA
Editor: MARIA SUSY BERINDRA
Sumber: Kompas, 21 Februari 2020
No comments:
Post a Comment