Sunday, February 16, 2020

Sutrakusma Gugah Minat Baca Petani

Raden Sutrakusuma (38), merasa tertantang untuk mengubah pola pikir petani yang berorientasi pada pertanian subsisten.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Sutrakusuma berusaha menggugah literasi para petani di Lombok Utara, NTB.

Sutrakusuma mengintergrasikan literasi bagi petani dengan program literasi untuk anak-anak. Dengan membaca buku, petani diharap memiliki inovasi, mengubah pola pikir dalam mengelola usaha taninya.

“Petani memiliki kemampuan alami dalam teknis berocok tanam, kecermatanya membaca musim dan cuaca. Cuma kemampuan itu perlu dibarengi perubahan pola pikir, yang tidak saja menanam padi, tetapi juga menanam komoditi hortikultura yang nilai jualnya lebih tinggi dibanding padi,” ujar Sutrakusuma di Dusun Ujung Mekar, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, sekitar 83 kilometer utara Mataram, Sabtu (1/2/2020).


Menurut Sutrakusuma, upaya menyasar petani melalui literasi bersamaan dengan terbntuknya Taman Baca Masyarakat/TBM yang diprakasai generasi muda Forum Terune-Dedare Desa Bayan’ terbentuk tahun 2008, dan Sutrakusuma sebagai ketuanya. Sebelum menyasar petani, kegiatan awal berupa menumbuhkan budaya literasi dimulai dari keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Tantangan menumbuhkembangkan minat baca cukup berat. Secara topografis bentang alam Kecamatan Bayan berbukit-bukit, dan lokasi permukiman penduduk yang terpencar-pencar. Dari sembilan desa dan 108 dusun (2017), rata-rata dusunnya terpencil, berlokasi di kaki Gunung Rinjani, yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki atau sepeda motor.

Akses informasi pun terbatas, sementara anak-anak kesulitan mendapatkan bahan bacaan yang selama ini diperoleh dari koleksi perpustakaan sekolah yang umumnya buku bahan ajar. Buku yang tersedia lebih banyak tulisan ketimbang gambar (komik) yang umumnya disenangi anak-anak. “Anak-anak tampaknya lebih senang bila lebih banyak gambar dari pada tulisan,” katamya.

Namun untuk membeli bacaan bergambar relatif mahal. Sepulang sekolah anak-anak mengisi waktu untuk bermain, terlebih lagi banyak warga yang menganggap membaca buku tidak penting. “Pekerjaan membaca buang-buang waktu, tidak ada upahnya secara materi,” tutur Sutrakusuma.

Sutrakusuma memaklumi persepsi itu, karena masyarakat acapkali jadi obyek dan bosan dengan janji-janji oknum tertentu untuk kepentingan dirinya. Akibatnya, masyarakat susah diajak berpatisipasi untuk berbagai kegiatan. Janji-janji pembenar ujar-ujaran yang dipahami Suku Sasak, Lombok, menyatakan, ‘marak pelisa’ bawon batu, lamun ndek man gita’ ndek man nyadu (seperti anak kutu di atas batu, tidak akan percaya sebelum ada hasil nyata).

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Sutrakusuma sedang menata buku-buku koleksinya.

Untuk menumbuhkan kepercayaan itu, Sutrakusuma, tahun 2008-2011, keliling ke pelosok dusun, membawa bahan bacaan bagi anak-anak dan orang dewasa. Bahan bacaan itu umumnya adalah pemberian penyumbang dari komunitas baca di Mataram dan Yogyakarta berupa novel, cerita pendek, jurnal, artikel, komik, dan buku hasil penelitian sosial budaya yang belakangan diketahui menarik minat pembaca kalangan tua di Bayan.

Buku-buku itu dibawa dengan sepeda motor, melewati medan berat ke dusun terpencil seperti Dusun Bual dan Dusun Batu Jompang. Jalan menuju Dusun Bual misalnya, selebar satu meter yang diapit lembah dan jurang terjal. Di Dusun sasaran, Sutrakusuma, datang di hari libur sekolah, atau saat ada latihan kesenian seperti teater dan gamalen. Ketika istirahat berlatih, anak-anak menigisi waktu untuk membaca buku yang dibawa Sutrakusuma.

Menunggu anak-anak
Di satu lokasi ia meluangkan waktu seharian, menunggu anak-anak selesai membaca. “Saya tidak kasih pinjam, karena khawatir lembaran buku itu robek, sedang bahan bacaan relatif terbatas. Makanya biar saya tunggu selesai baca, lalu buku-buku saya bawa pulang,” tuturnya.

Dalam kunjungan ke dusun-dusun itu, Sutrakusuma acapkali mendapat pertanyaan dari warga yang selama ini mengenalnya sebagai Penyuluh Pertanian Lapangan/PPL, lalu banting stir menjadi penjual buku. “Saya ditanya, Mamiq (bapak), tumben jual buku. Bukan, tiang (saya) bawakan buku ini untuk dibaca oleh anak-anak dan warga sekitar,” ucapnya.

Kesan sebagai penjual buku itu lambat-laun hilang, malah pada hari kunjungan ke dusun-dusun, anak-anak menunggu kedatangan Sutrakusuma membawa bahan bacaan. Kegiatan keliling dusun di Kecamatan Bayan, sempat terhenti, karena lokasi tugasnya di kecamatan lain, susah membagi waktu.

KOMPAS/KHAERUL ANWAR--Sutrakusuma berkeliling ke dusun-dusun untuk menarik minat anak-anak dan petani membaca buku.

Kegiatan literasinya dilanjutkan tahun 2014, setelah bertugas di Kecamatan Bayan, lalu aktivitas TBM yang menggunakan rumah jaga petugas masjid kuno Bayan, dipindah ke rumahnya. Di situ ia menyediakan berugak (bale-bale) untuk menyimpan koleksi 1.500 judul buku, dan kegiatan membaca bagi anak-anak. Biasanya, taman baca di rumahnya ramai dikunjungi siswa hari Sabtu dan Minggu, dan menjelang ujian sekolah.

Setelah literasi kepada siswa dan masyarakat berjalan, Sutrakusuma menyasar kalangan petani. Alasannya, petani dalam kegiatan usaha taninya sebatas memenuhi konsumsi rumah tangga dari hasil tanaman padi. Padahal tanaman padi rentan serangan organisme pengganggu tanaman/OPT seperti walang sangit, wereng dan tungro.

Ketika tanamannya menghadapi masalah, para petani mendatangi Sutrakusuma untuk dimintai cara mengatasinya. Sutrakusuma kemudian menganjurkan untuk membaca buku dan majalah yang tersedia, tentang teknik budi daya, dan strategi mengantisipasi serangan hama tanaman padi. Dari bacaan itu, petani bisa membuat pupuk kompos dan pestisida nabati dari campuran daun pohon umbe, tembakau, dan laos untuk mengatasi serangan walang sangit, hama wereng, dan tungro. “Kami tekankan, pakai biopestida untuk mengatasi hama, sedang pupuk kimia pilihan terakhir,” katanya.

Belakangan pola pikir petani mulai berubah di antaranya dengan membaca buku dan majalah. Dari pengakuan petani, kata Sutrakusuma, dari pertanian subsisten yang dilaksanakan selama ini hasilnya hanya sebagian kecil yang bisa dijual ke pasar lokal, dan hasil penjualan sebagian besar untuk kebutuhan makan-minum keluarga sehari-hari. Di kecamatan itu, sebagian besar sawah ditanami padi tiga kali dalam setahun: dua musim untuk menanam padi varietas unggul, satu musim ditanami padi bulu dan ketan (lokal) yang dijual untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anaknya, sedang beras jenis varietas unggul hanya untuk konsumsi sehari-hari.

Kesadaran untuk berinovasi ditunjukkan dalam tiga tahun terakhir, menyusul lima petani membudidayakan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat dan kacang panjang. Lima petani itu mengaku harga jual cabai yang dibeli pedagang pengumpul Rp 80.000-Rp 100.000 per kilogram/kg, jauh lebih tinggi dibanding harga beras Rp 8.000-Rp 10.000 per kg. Mereka juga tergerak mengubah cara bertani setelah mengetahui keberhasilan petani di desa/kecamatan lain dari komoditi hortikultura.

Sutrakusuma mengaku banyak tantangan yang harus dilalui, seperti menambah empat tenaga relawan saat ini, lalu baru tujuh kelompok tani (dari 32 kelompok) yang aktif mengunjungi perpustakaan, dan adanya gadget yang berpotensi menurunkan minat baca buku.

“Tetapi saya yakin, literasi tetap jalan, karena internet belum bisa diakses ke seluruh dusun , yang punya telepon selular terbatas. Ini fokus literasi kami, termasuk anak SD, SMP dan petani (yang masih bisa membaca meski hanya lulusan SD). Kalau anak milenial lebih sibuk main gadget,” tuturnya.

Raden Sutrakusuma

Lahir: Lombok Utara, 22 Agustus 1982

Pekerjaan: PPL Unit Pelaksana Teknis Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kecamatan Bayan

Istri: Denda Kusmawati (34)

Pendidikan:
SDN 2 Bayan tamat 1995
SMPN 1 Bayan tamat tahun 1998
SPP SPMA Mataram tamat tahun 2001
Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Mataram, Lombok, tamat tahun 2016

Oleh  KHAERUL ANWAR

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 17 Februari 2020

No comments:

Post a Comment