Sunday, March 1, 2020

Pujo Widodo Mengangkat Harkat Kopi Kendal

Pujo Widodo mendorong petani kopi Kendal di Desa Mlatiharjo, Kecamatan Patean, Kendal, untuk meningkatkan kualitas biji kopi terbaik. Sejak 2005, dia berusaha mengangkat harkat kopi Kendal.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA--Ketua Kelompok Tani Mlati Makmur, Pujo Widodo di rumahnya, di Desa Mlatiharjo, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (6/2/2020).

Puluhan tahun, para petani kopi di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, hanya menjual beras kopi gelondongan melalui jalur pengepul. Tak banyak nilai tambah dari perdagangan kopi saat itu. Identitas daerah pun tak terangkat. Pujo Widodo (50) menyadari hal itu. Ia mengajak mengajak para petani untuk berbenah agar bisa naik kelas.


Widodo, Ketua Kelompok Tani Mlati Makmur Desa Mlatiharjo, Kecamatan Patean, Kendal, yakin kopi kendal amat potensial menjadi komoditas perdagangan. Daerah itu memiliki kopi robusta (Coffea canephora) dan kopi liberika (Coffea liberica) yang memiliki sejarah dan keunikan tersendiri.

Sejak 2014, Widodo ia berupaya mendorong petani untuk meningkatkan kualitas kopi kendal dengan memperbaiki cara menanam, memilah buah kopi siap panen, teknik pengolahan, hingga pengemasan. Hasilnya, langsung terlihat, jika pada 2004, petani menghasilkan sekitar 1 ton biji kopi per hektar per tahun, kini mencapai 1,6 ton.

Hasil panen kopi Kelompok Tani Mlati Makmur kini dijual dalam aneka bentuk mulai beras kopi (green bean) hingga kopi bubuk dalam kemasan. Biji kopi robusta dijual Rp 50.000 per kilogram untuk kopi hasil pilah merah dan Rp 21.000 per kilogram untuk yang asalan. Kopi beras liberika dijual Rp 100.000 per kilogram (pilah merah) dan Rp 25.000 per kilogram (asalan). Adapun dalam kemasan (bubuk) yakni Rp 15.000 per ons (robusta) dan Rp 20.000 per ons (liberika).

Kecamatan Patean merupakan satu dari empat kecamatan penghasil utama kopi di Kendal selain Sukorejo, Plantungan, dan Pageruyung. Berada di wilayah selatan kabupaten itu, keempatnya merupakan Eks Kawedanan Selokaton. Patean berada di ketinggian 400-600 meter di atas permukaan laut.

Selepas lulus dari Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Yogyakarta pada 1987, Widodo merantau ke berbagai daerah, bekerja sebagai mandor di beberapa perusahaan terkait pertanian. Baru pada 1993 ia kembali ke kampung halamannya dan fokus dalam pembibitan tanaman, termasuk kopi.

Pada 2005, Widodo merasa tergerak untuk mengangkat harkat kopi kendal. “Sejak lama menghasilkan kopi, tetapi kopi Kendal enggak pernah dikenal. Salah satunya karena sejak dulu semua kopi larinya ke Candiroto, Temanggung (tempat pengepulan). Ini menjadi lecutan bagi kami,” ujar Widodo.

Pada tahun itu pula Kelompok Tani Mlati Makmur berdiri dan Widodo tergabung sebagai anggota. Ia kadang heran dengan kebiasaan para petani kopi, yang sering minum teh di setiap pertemuan. Ia lalu mengajak petani untuk meminum kopi yang dihasilkan dari proses yang benar atau pilah merah.

Segala upaya, termasuk inovasi Widodo baru dapat dijalankan secara efektif setelah ia menjadi ketua, pada 2014. Ketika itu, banyak daerah gencar mengangkat produk kopi mereka seiring berkembangnya ngopi sebagai gaya hidup. Enggan tertinggal, kopi Kendal pun coba diangkat.

Dari 20 anggota Kelompok Tani Mlati Makmur, mayoritas sudah tua, lalu Widodo mengajak tujuh orang yang muda-muda. “Saat itu, saya katakan kepada mereka, anak sekolah saja dari SMP lanjut ke SMA, lalu kuliah. Begitu juga petani, apa tidak ingin tampah pintar? Tak ingin naik kelas?” kata Widodo.

Ia lalu mengajak para anggota untuk studi banding ke sejumlah kelompok tani di Jateng, seperti Kabupaten Temanggung dan Semarang, yang sudah menghasilkan kopi berkualitas. Hal itu kian membuka pikiran petani, bahwa nilai tambah bisa didapat jika kopi dibudidaya dengan baik dan benar.

Sejak saat itu, para petani di Kelompok Tani Mlati Makmur antusias dan berlomba menghasilkan kopi terbaik. Begitu juga dalam menata kebunnya masing-masing. Selain itu, muncul rasa keingintahuan para petani tentang proses penyangraian, penghalusan biji kopi, pengemasan, bahkan penyajian.

Saat ini, nama kopi yang digunakan pada perizinan produk industri rumah tangga (PIRT) yakni Kopi Gunung Prau. Itu dipilih karena sebagian Gunung Prau masuk wilayah Kabupaten Kendal. Warga Kendal turut merasa memiliki dan turut menjaga Gunung Prau. Namun, menurut Widodo, belakangan diketahui banyak yang menggunakan merek itu.

Terlebih, saat mendapat fasilitas pengurusan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dari pemerintah, ternyata Kopi Gunung Prau sudah ada yang menggunakan. “Karena itu, kami sepakat mengubahnya menjadi Kopi Mlati, diambil dari Mlatiharjo. Untuk PIRT dan label halal juga akan kami ganti,” ucapnya.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA--Ketua Kelompok Tani Mlati Makmur, Pujo Widodo di kebun kopi miliknya, di Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kamis (6/2/2020)

Tukar ilmu
Dari gerakan bersama memperbaiki kualitas kopi, kebersamaan dan kekerabatan antarpetani juga terus menghangat. Obrolan dan tukar ilmu kerap dilakukan di Ekopi Gunung Prau, tempat pengolahan pascapanen kopi yang dihasilkan para petani dari Kelompok Tani Mlati Makmur.

Ekopi Gunung Prau, yang letaknya persis di depan rumah Pujo, merupakan milik Eko Siswanto (36). Ia merupakan pegiat kopi sekaligus anggota Kelompok Tani Mlati Makmur untuk bidang pemasaran.

Di ruangan berukuran 4 meter x 6 meter tersebut, toples-toples berisi macam-macam biji kopi dengan teknik pengolahan berbeda-beda, terderet rapi. Di pojok ruangan, terdapat satu alat penyangrai. Menyerupai kedai mini, siapapun boleh bermain ke sana untuk menyicipi kopi-kopi terbaik Mlatiharjo.

Bahkan, petani yang berkunjung ke Ekopi Gunung Prau tak hanya dari Patean, tetapi juga dari Sukorejo, Plantungan, dan Pageruyung. “Tempatnya sederhana, tetapi yang utama bagi kami manfaatnya. Kami senang banyak yang datang untuk belajar bersama tentang kopi,” kata Widodo.

Diakuinya, pengolahan kopi di desanya, bahkan se-eks Kawedanan Selokaton, belum memiliki prosedur standar, sehingga kualitasnya belum seragam. Ia berencana menyatukan persepsi agar semua terstandar sehingga akan menarik minat pasar. Lebih jauh, ia bercita-cita menjadikan Mlatiharjo sebagai tempat wisata edukasi kopi.

Selain itu, Widodo aktif dalam kelompok Lingkar Studi Kopi, Kendal, yang berisi para petani dan pegiat kopi se-eks Kawedanan Selokaton. Dibentuk pada 2019, kelompok itu kini tengah fokus mengangkat kopi liberika, varietas kopi yang tergantikan robusta, tetapi memiliki riwayat panjang di Kendal.

Sejak lama, kopi yang juga kerap disebut kopi gede, kopi bariah, dan kopi nangka oleh warga Kendal itu kalah pamor dari robusta. Sekitar 1980, para petani kopi di Kendal menebang dan menyambungnya dengan robusta. Selain metiknya lebih sulit, rendemennya pun rendah. Sementara batang bawah liberika tetap dipertahankan karena terkenal kokoh.

Saat ini, di kebun milik Widodo bahkan masih terdapat satu pohon liberika utuh yang menjulang sekitar 10 meter. “Di kebun lain di Kendal masih ada pepohonan liberika yang membentuk satu blok. Kami ingin mengangkat keunikan kopi ini. Pada 2019, kami menggelar Festival Kopi Liberika,” ujarnya.

Widodo, bersama rekan-rekan petani dan pegiat kopi di Kendal menyimpan harapan yang tak muluk, yakni kopi kendal lebih dikenal dan diakui. Upaya melepaskan diri dari ketergantungan pengepul tak mudah. Namun, satu langkah telah digurat, demi peningkatan sebuah harkat.

Pujo Widodo

Lahir: 9 Juni 1969
Istri: Suwarni
Anak: 2

Pendidikan :
– Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Yogyakarta, lulus 1987

Organisasi:
– Pengurus Bidang Perkebunan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jateng (2004-sekarang)
– Pengurus Seksi Budidaya Asosiasi Petani Kopi Indonesia (Apeki) Jateng (2015-sekarang)
– Anggota Asosiasi UKM Kopi Jateng (2020-sekarang)

Penghargaan:
– Bupati Kendal Award 2017

Oleh  ADITYA PUTRA PERDANA

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 2 Maret 2020

No comments:

Post a Comment