Thursday, February 13, 2020

Ujang Safaat Elegi Rindu Si Penjaga Senja

Derap pembangunan permukiman di Kota Bandung membuat ekosistem burung blekok sawah dan kuntul kerbau kian terancam. Ujang Safaat (44) mempertahankan ekosistem hewan-hewan itu.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA--Ujang Safaat

Derap pembangunan permukiman di Kota Bandung membuat ekosistem burung blekok sawah dan kuntul kerbau kian terancam. Ujang Safaat (44) berjuang mempertahankan rumpun bambu terakhir yang menjadi rumah bagi kawanan satwa. Ia ibarat si penjaga senja yang berjalan seorang diri menyusur jalan sunyi.

Suara derit batang bambu yang bergesekan diterpa angin menyambut Ujang saat pulang ke rumah di Kampung Rancabayawak, Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, pertengahan November lalu. Rindang rumpun bambu membuat terik siang itu tidak terasa menyengat.


Ujang baru saja selesai mengajar olahraga di SD Negeri 215 Rancasagatan yang berjarak 3,5 kilometer dari rumahnya. Di kursi kayu di samping rumahnya, ia duduk bersandar melepas lelah.

Tubuhnya mungkin bisa beristirahat, tetapi tidak dengan pikirannya. Alat berat yang mondar-mandir di hadapannya kembali mengundang cemas tentang masa depan kampung itu.

”Sebentar lagi kampung ini akan dikepung bangunan perumahan. Sawah-sawah berubah menjadi ladang beton,” ujarnya.

Alat berat itu dioperasikan pada proyek pembangunan perumahan seluas lebih dari 300 hektar. Area persawahan yang menjadi habitat beraneka ragam satwa, di antaranya burung blekok sawah (Ardeola speciosa) dan kuntul kerbau (Bubulcus ibis), pun semakin menyusut.

Imbasnya, burung-burung itu harus terbang lebih jauh, seperti ke Ciparay dan Majalaya di Kabupaten Bandung, untuk mencari makan. Daya jelajahnya bisa mencapai lebih dari 20 kilometer.

Berada di sekitar area pembangunan, lahan milik Ujang dan keluarganya juga tak urung dirayu. Akan tetapi, tawaran itu ditolak. Iming-iming uang hingga ratusan juta rupiah tak membuat mereka tergiur. Mereka lebih memilih menjadikan lahannya menjadi rumah terakhir bagi blekok dan kuntul yang terusir.

Kini, ada delapan rumpun bambu yang berdiri di lahan itu. Satu rumpun bambu terdiri atas 200-300 batang bambu menjadi rumah bagi blekok dan kuntul kerbau. ”Bukannya kami tidak butuh uang. Namun, kampung ini sudah identik dengan Kampung Blekok. Identitas itu harus dipertahankan,” ujarnya.

Pemburu jadi penjaga
Cerita dari sesepuh kampung, blekok dan kuntul itu datang tak diundang sejak 40 tahun lalu. Dari hanya 700 ekor, kini lebih dari ribuan ekor memilih Rancabayawak sebagai rumah terakhir. Sempat beberapa kali mengusir, sekarang warga mati-matian mempertahankan burung air itu.

Bukan perkara mudah bagi Rancabayawak hidup bersama kuntul dan blekok. Bau anyir kotoran menyiksa hidung warga. Petasan hingga tembakan senapan angin digunakan mengusirnya. Tidak berhasil, warga memilih berdamai. Ujang menjadi salah seorang yang berdamai. Pilihan tepat karena buahnya manis di kemudian hari.

Ujang lahir di sana. Masa kecil dan remajanya diisi dengan memburu burung blekok dan kuntul. Baik itu hanya untuk bermain maupun mengonsumsi dagingnya.

”Dahulu anak-anak di sini sering memanjat rumpun bambu untuk menangkap burung. Ada juga yang memakai katapel,” ujarnya.

Waktu berjalan, kesadaran melestarikan satwa-satwa itu muncul tahun 1995. Ketika itu, Ujang diterima di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, dan aktif di organisasi pencinta alam di kampus tersebut.

Ujang belajar pentingnya melestarikan alam, termasuk satwa-satwa di dalamnya. Tujuannya menjaga ekosistem dan keseimbangan alam demi mendukung kehidupan manusia.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA--Ujang Safaat

Dia lantas mengajak warga kampungnya untuk berhenti memburu burung blekok dan kuntul. Awalnya, banyak yang menolak ajakan itu. Namun, lama-kelamaan, warga semakin sadar pentingnya hidup bersama burung sebagai sesama makhluk bumi.

Dua tahun berselang, ancaman perburuan burung blekok dan kuntul datang dari warga di luar Kampung Rancabayawak. Dari balik pematang sawah, mereka menembaki burung-burung itu menggunakan senapan angin. Ujang mengajak beberapa rekannya untuk memperingatkan para pemburu. Awalnya mereka takut karena para pemburu membawa senapan.

”Saya bilang ke pemuda lainnya, kalau burung-burung ditembaki, bangkainya akan membusuk dan mengganggu warga kampung,” ujarnya.

Meskipun nyaris beradu fisik, Ujang dan kawan-kawan sukses mengusir pemburu itu. Namun, ancaman kini datang akibat masifnya pembangunan perumahan di kawasan Bandung timur. Kali ini, modal besar jelas bukan lawan yang setara bagi warga kampung.

Aktivitas pembangunan mengubah perilaku burung-burung itu. Sebelumnya, burung pulang ke rumpun bambu pukul 15.00-16.00. Namun, setelah pembangunan perumahan, waktu pulangnya berubah menjadi pukul 17.00-18.00.

”Karena pukul 15.00-16.00 masih ada alat berat yang beroperasi. Itu mengganggu burung-burung sehingga pulangnya lebih sore saat suasana sudah sepi,” ujarnya.

Berjuta manfaat
Menjaga kelestarian burung blekok sawah dan kuntul kerbau serta rumpun bambu sebagai habitatnya bukan sekadar mencegah kepunahan satwa-satwa tersebut. Manfaatnya lebih dari itu. Mulai dari membasmi hama, mitigasi bencana, hingga menjadi tempat belajar luar kelas.

Burung blekok sawah dan kuntul kerbau sudah sejak lama menjadi sahabat petani. Sebab, kedua satwa ini memakan berbagai jenis serangga, di antaranya walang sangit dan wereng, yang sering merusak padi.

Jika populasi blekok sawah dan kuntul kerbau semakin berkurang, potensi kerusakan padi karena terserang hama akan semakin besar. ”Ini sangat merugikan karena mayoritas penduduk di kampung ini bertani,” ucapnya.

Mempertahankan rumpun bambu bukan semata-mata menyediakan tempat tinggal bagi burung-burung itu. Fungsinya juga sebagai benteng penahan angin kencang sehingga tidak merusak rumah warga.

Kecamatan Gedebage kini sering dilanda angin kencang, terutama di musim hujan. Akhir tahun lalu, angin kencang merusak lebih dari 10 bangunan di Kelurahan Rancabolang dan Cisaranten Kidul. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Namun, atap sejumlah bangunan beterbangan tersapu angin yang diikuti hujan lebat tersebut.

”Angin kencangnya juga sampai sini. Namun, alhamdulillah, tidak ada rumah yang rusak. Tidak tahu jadinya kalau rumpun-rumpun bambu ini ditebang,” ujarnya.

Kampung Rancabayawak juga kerap dijadikan tempat belajar luar kelas, khususnya bagi siswa SDN 215 Rancasagatan. Bahkan, kampung itu dijadikan tempat latihan tari blekok yang gerakannya terinspirasi dari gerakan burung blekok.

”Usaha Pak Ujang melestarikan satwa di Kampung Rancabayawak juga bermanfaat bagi sekolah untuk menjadikan kampung itu sebagai laboratorium alam dalam mempelajari satwa lokal dan kebudayaan,” ujar Kepala Sekolah SDN 215 Rancasagatan, Abu Bakar.

Gundah hati Ujang tak juga mencair saat matahari semakin condong ke barat. Sore itu, ribuan burung blekok dan kuntul kembali pulang berlatar merah langit kelabu. Namun, Ujang ingin terus memelihara rindu. Dia ingin terus menjadi penjaga senja terakhir untuk para penguasa angkasa Rancabayawak.

Ujang Safaat

Lahir : Bandung, 13 Maret 1975

Pendidikan : S-1 Universitas Pendidikan Indonesia (Lulus Tahun 2003)

Pekerjaan :
Guru SDN 215 Rancasagatan, Kota Bandung
Ketua RW 002, Kelurahan Cisaranten Kidul, Gedebage, Kota Bandung

Istri : Siti Sadiah

Anak : 3

Oleh  TATANG MULYANA SINAGA

Editor:  MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 14 Februari 2020

No comments:

Post a Comment